DEAN
Langit selalu terlihat mendung. Mentari tak pernah bersinar cerah. Dan malam, bahkan lebih suram.
Setidaknya, itulah yang aku rasakan.
"Sebaiknya kita mulai terapi secepatnya. Saya akan memberikan nama-nama psikiater terbaik di rumah sakit ini. Apakah benar ini percobaan bunuh diri yang kedua kali?" Suara seorang wanita dewasa di ujung tempat tidur sangat lirih. Namun, inderaku yang sudah terjaga mampu mendengarnya. Penasaran, aku membuka mata dan langsung menyesalinya karena harus berhadapan dengan cahaya yang terlalu terang. Makian kecil terlepas dari sudut bibir tanpa dapat ditahan, cukup keras untuk menarik perhatian sang dokter dan dua orang dewasa lain di ruangan ini.
"Kau sudah bangun, Sayang?"
Walau mata belum sepenuhnya beradaptasi pada limpahan cahaya, tapi aku tahu siapa yang berbicara. Suara ini sudah akrab terdengar bahkan sejak aku masih berupa janin dulu. Suara Ibu.
Setelah dia duduk di sampingku, baru dapat terlihat jelas wajahnya. Juga mata yang merah dan pipi basah. Hatiku sakit seketika. Aku membuat wanita yang paling kukasihi kembali menangis.
Tenggorokan terasa sakit menahan desakan sedan yang ingin lolos saat berkata, "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku. Aku tidak bisa mengontrolnya ...."
Perempuan itu membungkuk untuk memeluk. Kutarik lutut hingga menyentuh dada, meringkuk bagai bayi dalam pelukannya. Lalu tangisan pecah di antara kami. Di sela sedu sedan, aku memandang ke balik punggung Ibu. Menemukan Ayah menatap kami dengan ekspresi yang sulit kutebak. Rahangnya mengeras sebelum kembali menghadap sang dokter.
"Kami ingin mendapatkan yang terbaik untuk Dean, Dok. Mohon bantuan Anda."
***
Barisan nama di papan pengumuman terlalu rapat. Aku harus menyipitkan mata untuk dapat membaca dengan jelas. Dikarenakan tubuh yang cukup tinggi, aku terpaksa berdiri di belakang kerumunan murid lain.