Sambil menghadap Satya, perempuan itu berdiri dengan pose layaknya model majalah. Senyumnya berubah perlahan: semula melengkung lebar, menyempit, lalu menukik. Ia menggembungkan pipi sambil menyorot Satya yang mengalihkan bidikan ke arah lain.
Perempuan itu menyilangkan lengan kemudian mendengkus. "Kamu memang senang mengambil foto dari sudut yang paling ... 'berbeda'."
Satya menoleh, lalu bertanya dalam bahasa Inggris beraksen Amerika, "Menurutmu sudut mana yang 'normal' atau mungkin ... 'ekstra'?"
Perempuan pirang tersebut membusung sambil menunjuk dadanya dengan jempol. "'Ekstra spesial'!"
Satya menarik napas panjang seraya mengangkat kamera sejajar mata. Ia menatap lurus, seakan memusatkan fokusnya pada objek di depan. Telunjuk di tangan kanan siap menekan tombol shutter.
Menyadari kamera diarahkan kepadanya, perempuan itu memegang pinggang dengan kedua tangan dan tersenyum. Satu matanya tertutup, meninggalkan satu mata yang menatap lensa—pose sempurna, penuh ekspresi, dan siap diabadikan.
Sesaat berikutnya suara klik terdengar berulang. Perempuan itu berganti pose setiap kali kamera berbunyi—memiringkan kepala, menekuk lutut sedikit, dan tersenyum tipis di sudut bibir. Ada kelincahan yang membuat gerakannya hidup, tiap ekspresi memberi nuansa ceria yang berbeda.
Setelah beberapa jepretan, Satya menurunkan kamera. "Sempurna."
Perempuan itu berlari kecil menghampiri Satya. Matanya berbinar seperti anak kecil yang menunggu permen favorit jatuh dari mesin penjual otomatis. "Aku mau lihat hasilnya!"
Satya mengangkat kamera, menunjukkan hasil jepretan di layar kecil. Senyum perempuan itu mulai pudar melihat foto pertama hanya menampilkan ujung rambutnya. Foto bergeser ke syal; garis bibirnya mulai turun. Foto terakhir hanya menangkap sepatu bot merah muda perempuan itu, hingga membuat garis bibirnya benar-benar menukik.
"'Sempurna' katamu?!" Perempuan itu memukul-mukul bahu Satya. "Dasar bodoh! Menyebalkan!"
Satya tertawa kecil, tubuhnya sedikit miring menahan serangan itu. Tiba-tiba sesuatu terlepas dari saku bagian dalam jaketnya—selembar kartu tipis meluncur turun, berputar perlahan sebelum menyentuh tanah bersalju.
Perempuan itu sontak berhenti, menatap kartu yang tergeletak di atas salju. Belum sempat Satya membungkuk, ia sudah lebih dulu mengambilnya. Matanya menangkap tulisan di permukaan kartu: Studierendenausweis der Universität Bern.²
"Kamu bukan ... turis?" tanya perempuan itu, setengah bergumam.
Satya menyambar kartu dari tangan perempuan itu, lalu menyelipkan ke dalam saku. "Menurutmu?!"
Satya melangkah sebelum menempati salah satu bangku. Ia menepuk butir-butir salju di kamera, membersihkan butiran salju yang menempel di badannya. Perempuan itu berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Beberapa detik hanya diisi hening; perempuan tersebut menatap pria berkulit sawo matang itu dari sudut mata, mencoba menerka-nerka.
"Jauh-jauh dari India untuk kuliah di sini?" tanyanya.
"Indonesia," jawab Satya.