Elara tersenyum lebar sambil bertolak pinggang. Ia mengenakan sweater rajut tipis berwarna krem muda di atas seragam petugas kantin—kaus polo oranye dan celana hitam yang sebagian tampak di bawah sweater. Apron biru tua melingkar rapi di pinggang, sementara topi kuning muda bertuliskan "UniBern Mensa" menutupi sebagian rambut pirangnya yang bergelombang. Beberapa helai rambut terlepas dari topi dan jatuh di sisi wajah yang memerah karena udara dingin.
"Hei, kamu!" Elara menunjuk Taye lalu melirik Satya. "Hati-hati sama orang ini! Dia sudah merugikanku 600 Swiss franc!"
Suara Elara cukup keras sampai menarik perhatian orang-orang. Mahasiswa-mahasiswa yang sedang mengantre di kasir memandang mereka, sedangkan seorang petugas berhenti menata nampan. Elara tampak santai menikmati sorotan mereka.
Satya terpaku di tempat. Wajahnya memanas dengan semburat merah muncul di pipi. Ia masih syok dengan keadaan itu, dan tidak tahu harus menunduk atau pergi meninggalkan kantin untuk menghindari semua pandangan yang tertuju ke arahnya.
Taye langsung menoleh pada Satya. "Serius, Bro?"
Ketika Elara mau menimpali, Satya berdiri dan segera menutup mulutnya dengan tangan. Ia menatap Elara dengan serius. Wajah mereka begitu dekat hingga membuat Elara mengalihkan pandangan ke samping. Wajah gadis itu memerah, jantungnya pun berdebar cepat. Beberapa saat kemudian, perlahan ia kembali menatap Satya.
"Apa maksudmu, sih?" bisik Satya dengan nada kesal.
Elara berusaha bicara, tetapi suaranya tertahan di balik telapak tangan Satya. Matanya menyipit, seperti memprotes pada Satya. Begitu Satya melepaskannya, ia menarik napas pendek lalu berbisik, "Kamu 'kan utang tiga foto. Satu foto senilai 200 Swiss franc, dan kamu berjanji hari ini melunasinya di Lauterbrunnen."
"Oh, Tuhan." Satya memutar bola mata, lantas bergumam dalam bahasa yang tidak dipahami Elara, "Wong gemblung."³
Elara menatap heran. "Kamu bilang apa?"
"Sudahlah, tidak penting." Satya berhenti sejenak sebelum menambahkan, "Dengar, aku tidak pernah berjanji apa-apa."
Elara tersenyum jail lalu berseru, "Apa?! Kamu tidak mau memba—"
Satya buru-buru membungkam Elara lagi dengan tangannya. Beberapa detik kemudian ia menurunkan tangan. "Oke, oke, tapi jangan hari ini. Aku banyak pekerjaan."
Elara menggembungkan pipi. "Kapan?"
Satya tertegun sebentar lalu menjawab, "Akhir pekan depan."
Elara mengerutkan alis. "Kamu mau semua orang dengar teriakanku lagi?"