Satu bulan semenjak ayah pergi rumah ini seperti ada puing rumah yang hilang. Aku melanjutkan kuliah seperti biasanya. Ibuku pergi bekerja setiap paginya di sebuah pabrik. Rumah selalu sepi setiap waktunya. Bahkan tak banyak sanak saudaraku yang datang bertandang ke rumah seperti saat ayahku masih ada.
"assalamualaikum" sapaku berteriak di depan pintu rumah yang masih tertutup rapat.
Prediksiku ibu pulang dari pabrik. Aku mengambil kunci rumah di pot bunga. Aku memasuki rumah. Sangat gelap. Aku menyalakan lampu ruang tamu. Mataku berkaca-kaca melihat seisi rumah. Aku menangis terduduk di lantai.
Rumah yang dulu selalu dipenuhi keramaian. Sanak saudara yang selalu bertamu ke rumah. Sekarang itu hanya ilusi belaka. Kenapa ini terjadi dengan cepatnya. Aku belum benar-benar dewasa untuk menghadapinya. Tidak. Aku harus tegar dan kuat.
Aku mengusap air mataku.
Ku lihat dapur, tampak tak tersedia beberapa makanan di meja makan. Aku membuka kulkas. Telur, sayuran, dan air dingin yang ada di dalamnya. Aku memasak sebuah mi instan dengan ku variasikan beberapa sayur mayur dan telur.
Aku melahapnya dengan kesepian menemaniku.
Tok Tok
Aku berlari membuka pintu rumah. Seorang pria pendek, berumur tiga puluhan dengan kumis lebat berdiri dengan senyumnya.
Kak arifin. Ia adalah sepupuku dari pihak ayahku. Dia terkenal dengan kepintarannya dalam mengaji. Dia sudah dianggap kiai muda di desaku. Dia menghabiskan masa mudanya di pesantren dan mengabdikan dirinya pada kiai. Dia sering membantu keluargaku, mungkin karena ia dekat dengan ayahku.
"kamu sendiri di rumah?" ucapnya tertawa dan duduk di kursi.
"seperti yang kamu lihat sekarang" balasku dengan pergi mengambilkan air putih untuknya.
"Kamu sudah dewasa" katanya yang melihatku keluar dari belakang sambil membawa air.
Aku menyuguhkan air itu padanya.
"Sudah semester berapa sekarang?" tanyanya.
"semester 5" jawabku malas.
"Cepat diselesaikan kuliahnya. Skripsi setelah itu wisuda. Setelah lulus aku akan menikahkanmu"
"makasih" celetuk ku.
Aku sangat membencinya saat dia bilang seperti itu. Apakah menurutnya hidup itu sebuah taman bermain. Dia hanya pandai membantu dengan mengoceh tanpa bertindak. Aku tak ingin melawannya. Aku masih waras untuk menghormati orang yang lebih tua dariku.
"Besok datanglah ke rumahku. Bantu aku menulis rapot milik muridku. Besok sore. Kamu sudah pulang dari kuliahkan?"
"Okeh" jawabku mengiyakan permintaannya.