Musim semi tahun 2013; Kota London, Inggris
Emily menyebut pertemuan mereka yang pertama sebagai ‘ketidaksengajaan yang pahit’. Kala itu, Gibran muda baru berusia 25 tahun. Keberadaannya di Inggris semata-mata karena beasiswa S2. Mendekati akhir studinya, Gibran pun berkutat dengan penelitian sekaligus sesekali dipercaya menjadi asisten seorang profesor yang menghargai kecerdasan otaknya.
01.37 pm. Gibran melirik jam tangannya sekilas lalu beralih memandang gedung Pusat Penelitian Universitas yang terbentang di hadapannya. Dari luar, arsitektur gedung itu menyuguhkan pemandangan tipuan, berbentuk tiga rangkaian kubah yang saling menempel dengan ukuran terbesar pada bagian tengah. Alih-alih menyerupai gedung teater, tiga raksasa kubah itu sebenarnya adalah jelmaan dari lab raksasa. Siapa pun yang masuk ke dalamnya untuk pertama kali dipastikan langsung terpana karena disambut oleh ruang terbuka dengan langit-langit tinggi yang pada ujungnya menampilkan lima susunan balkon dalam naungan satu kubah. Masing-masing balkon adalah perwakilan setiap lantai di gedung itu. Sama seperti lantai dasar, jalan menuju sayap kanan dan kiri dari balkon-balkon itu disekat oleh kaca raksasa, menyisakan satu pintu menuju lorong lebar dan panjang, tempat berbagai laboratorium bertetangga.
Gibran menarik napas. Selama kuliah di tempat itu, lab tercanggih yang pernah dia masuki hanyalah lab fakultas. Sekarang, atas undangan sang profesor yang mendadak, dia bisa masuk ke gedung itu, melihat dari dekat semua yang ada di dalamnya.
“Sayap kiri, lantai 3, belok kanan setelah lorong pertama, lalu jalan lagi hingga tiba di persimpangan kedua, belok ke kiri, lab ketiga, sebelah kanan. Tak perlu mengetuk karena pintu kacanya otomatis terbuka saat ada yang datang.”
Ucapan Profesor Haynsworth terngiang kembali di benaknya. Semangat Gibran sesaat surut, berganti rasa khawatir akan tersesat. Matanya kembali melirik jam tangan. 01.40 pm. Okay, 20 menit lagi menuju jam dua. Masih banyak waktu untuk jalan santai…
Dan optimisme Gibran pun gagal total. Dia tersesat dalam lorong-lorong panjang bak labirin mewah yang menjebak. Bukannya tiba di lab profesor, dia justru berputar-putar di gedung sayap kiri itu. Dua orang berjas lab rapi yang berpapasan dengannya seakan tak peduli saat dimintai tolong. Mereka berjalan terburu-buru dan jelas lebih peduli pada hal lain ketimbang kemalangan Gibran.
Dalam kecemasan yang makin meningkat, Gibran tiba di depan lab berpintu kayu yang tengah terbuka. Ragu-ragu, dia mengintip ke dalam. Terdengar tawa cekikikan dari sudut ruang yang memancing mata Gibran terarah ke sana. Ada dua gadis yang tengah duduk manis, berhadapan dengan meja beton yang dilapisi ubin.
“Permisi?”
Kedua gadis itu menoleh bersamaan, tapi hanya salah satu yang tatapannya beradu langsung dengan mata Gibran. It’s blue[1]… batin Gibran spontan.
“Yes?”
Emily berdiri dari kursinya, memiringkan kepala demi melihat Gibran lebih jelas.
“Bisa beritahu saya di mana lab Profesor Haynsworth? Saya tersesat.”
Senyum Emily lantas merekah, begitu manis dan sepadan dengan wajah cantiknya. Dia berjalan mendekati Gibran yang masih termangu di depan pintu.
“Maksudmu John Haynsworth?”
Gibran mengangguk. Tatapannya masih tertuju ke wajah Emily.
“Anda harus ke arah sana,” tunjuk jari Emily dengan tegas, “Lalu belok ke kiri, selanjutnya kalau bertemu persimpangan, lurus saja. Lab ketiga, sebelah kanan.”
Senyum Gibran mengembang, “Thank you[2]!”
“Your welcome[3]!” balas Emily.
Tatkala Gibran hendak membalikkan badan, Emily tiba-tiba bersuara lagi.
“Wait[4]!”
Gibran menoleh, “Yes?”
“Could you please do me a favor[5]?” pinta Emily dengan manja. Tatap matanya begitu hangat, menyelesak masuk ke sukma Gibran tanpa permisi.
Tak kuasa menolak Emily, Gibran pun mendadak lupa dengan janjinya pada Profesor Haynsworth. Setelah menyatakan kesediaan untuk membantu, dia diajak masuk ke dalam lab dan langsung diminta duduk. Satu gadis lain yang bernama Claire segera beranjak dari kursinya dan sibuk menyiapkan sesuatu. Emily sendiri mengambil tempat di hadapan Gibran, menopang dagunya dengan sebelah tangan sambil bersantai.
“So[6]?” Gibran mendelik, menanti tindakan berikutnya dari Emily, “Apa yang bisa kubantu?”
“Kami sedang melakukan eksperimen dengan lidah. Kau cukup mencicipi beberapa zat dan katakan apa rasanya. That’s it[7]!”