Pertengahan musim semi tahun 2013; Perpustakaan Umum Universitas, London, Inggris
Hujan baru saja berhenti tatkala Gibran memasuki pelataran gedung perpustakaan kampus. Dia berjalan cepat seraya menutup payung hitamnya. Di atas langit, mendung masih bergelayut, dengan awan kelabunya yang rapat, pertanda sewaktu-waktu siap menurunkan hujan kembali.
Sampai di depan tangga perpustakaan yang lebar, Gibran menambah laju geraknya. Dia berlari kecil, menaiki undakan-undakan beton sembari sesekali memecah genangan air di situ. Setelah sepuluh anak tangga terlewati, Gibran tiba di teras gedung lantas langsung berjalan menuju pintu utama dan masuk ke dalamnya.
Gedung perpustakaan merupakan bangunan terbesar kedua di universitas itu setelah laboratorium tiga kubah. Buku adalah sumber ilmu sehingga pihak kampus sengaja membuat ‘gudang’ buku yang begitu besar agar bisa menampung ilmu sebanyak-banyaknya. Dengan empat susunan lantai serta gaya arsitektur bangunan yang klasik, perpustakaan kampus benar-benar menyuguhkan kenyamanan untuk membaca. Beberapa ruang diatur dalam suasana temaram. Ruang lainnya justru diberi cahaya yang cukup banyak. Semua hal itu sengaja dirancang agar setiap orang yang datang ke perpustakaan punya berbagai pilihan situasi dalam menjelajah ilmu, menggapai informasi atau bahkan sekadar bersantai.
Setelah menitip payung basahnya, Gibran langsung menaiki tangga menuju tingkat dua. Tiba di lantai itu, fokusnya langsung tertuju pada jejeran rak buku di sebelah kiri, tanpa sadar kehadiran seseorang yang berdiri di dekat situ. Sepasang mata biru menatapnya secara tak sengaja, mendelik dan menguntit punggung Gibran hingga hilang di balik rak buku. Senyum pun tersungging dari bibir Emily, si pemilik mata biru itu.
Gibran tengah membaca judul sebuah buku tatkala Emily sampai di belakangnya.
“Hello.” sapa Emily.
Gibran menoleh. Sejenak dia diam, mengamati wajah Emily dengan saksama. Petunjuk dari biru mata itu akhirnya membangkitkan memorinya.
“You are[1]…”
“Emily Paddock,” tangan Emily terjulur untuk bersalaman, “Gadis yang memberimu zat PTC dua minggu lalu.”
Gibran menyambut tangan Emily, “Gadis yang menjebakku untuk minum cairan kecut, tepatnya.” dia mengoreksi, “I’m Gibran. Aditya Gibran. What a coincidence[2]!”
“Well, sebenarnya tidak juga. Aku melihatmu tadi saat baru sampai.”
“Oh,” Gibran mendesiskan tawa canggung.
“Kami belum sempat berterima kasih.”
Alis Gibran terangkat, “Your welcome[3],” sahutnya cepat lalu kembali menatap sampul buku karena takut salah tingkah.
“Aku juga sebenarnya ingin minta maaf,” lanjut Emily.
Gibran melirik gadis itu dari sudut mata, “Maaf? Untuk apa?”
“Kau terlambat menemui Profesor Haynsworth gara-gara kami.”
Gibran tersenyum, “It doesn’t matter[4].”
“Kau tidak dimarahi?”
“Umm, dia bertanya padaku kenapa terlambat dan aku cerita semuanya.”
“Lalu?” Emily penasaran.
“Profesor hanya terkekeh. Dia bilang itu biasa.”
Emily tertawa lagi, kali ini beriringan dengan Gibran.
“Rupanya kalian cukup terkenal.” tambah Gibran.
“Tidak juga! Kami hanya berusaha meminta bantuan sebanyak mungkin dan profesor salah satunya.”
“Termasuk orang yang tidak sengaja lewat di depan lab kalian, betul?”
Emily memilih untuk menjawab dengan sebuah senyum simpul.
“I can’t believe this[5],” Gibran menggeleng, “Orang sekaliber Profesor Haynsworth pun jadi korban kalian.”
“Emily?”
Suara Claire mendadak terdengar, memancing Emily menoleh ke belakang. Gibran sendiri mengangkat kepalanya, berusaha melihat gadis itu dari balik tubuh Emily. Claire rupanya sedang berdiri di seberang meja yang berada tepat di belakang Emily. Dia lantas mengangkat tangan untuk memberi kode pergi.
Emily berbalik menghadap Gibran, “Hei, kami mau pergi ke kafe kampus untuk makan siang. Apa kau mau ikut?”
“Umm,” Gibran pura-pura melihat jam tangan lalu memandang Emily lagi, “Aku masih harus mencari beberapa buku lagi.”
Emily tersenyum dan mengangguk, “I see,” ujarnya dengan nada kecewa, lalu berbalik menuju Claire.
Ada semburat sesal yang tiba-tiba meliputi benak Gibran, tapi dia memilih untuk tetap berdiam di tempat. Bagaimanapun juga, dia tak punya alasan tepat untuk makan siang bersama gadis-gadis asing. Sesaat sebelum bersua kembali dengan rak buku, Gibran terpancing untuk melirik Emily, menikmati siluet punggung dan gerai rambutnya yang indah. Lalu, gadis itu hilang di balik tangga.
***
Emily tengah mengobrol dengan Claire di kafe kampus tatkala matanya menangkap sosok Gibran dari kejauhan. Pria itu, yang berjalan pelan sembari menggenggam payung hitam, rupanya tengah menatapnya juga.
“What?” Emily semringah, nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ketika Gibran tiba di meja mereka, tawa gadis itu pun pecah.
“Kau berubah pikiran!” ejek Emily.