Tahun 2013; Laboratorium Tiga Kubah, London, Inggris
“Another lunch again[1]?”
Gibran menoleh ke kiri, pada sosok Claire yang datang mendekat. Tubuh kurus gadis itu masih berbalut jas lab, pertanda baru saja keluar dari laboratorium. Seperti biasa, wajah Claire begitu datar, cocok dengan tampilan rambut merahnya yang lurus, pendek dan berponi.
“Kebetulan saja karena aku ada janji dengan Profesor Haynsworth.” jawab Gibran.
Claire berdiri di sisi Gibran. Kedua tangannya berpegang pada pembatas balkon. Gibran sendiri sedikit membungkuk, bertumpu dengan siku. Keduanya menatap objek yang sama, gadis manis berambut pirang di lantai bawah, yang tengah asyik bercengkerama dengan staf laboratorium lain.
“Profesor orang yang sibuk. Kau berarti orang penting hingga dia harus bertemu denganmu setiap hari,” tutur Claire.
“Dia pembimbingku,” jelas Gibran, “Dan aku dimintanya untuk menjadi asisten dalam proyek baru.”
“Jadi kau akan berada di sini setiap hari?”
Gibran mengernyit. Dia menatap Claire, “What’s your problem[2]?”
Claire menarik napas lalu menoleh, “Aku sudah kehilangan teman makan siang beberapa hari ini.”
Gibran mendelik, “Oh God, are you jealous to me[3]?”
Claire melotot, “Jangan salah paham denganku, Gibran! Aku tidak seperti yang kau pikirkan!”
“Oh?” Gibran salah tingkah, “I’m sorry, I just,”
“Emily itu pintar, cantik, tapi dia sulit ditaklukkan.” Claire menatap Emily, tanpa kedipan.
Gibran ikut menoleh ke bawah, pada Emily yang tengah tertawa.
“You did it[4], Gibran. Kau berhasil menaklukkannya.” lanjut Claire, “Please do not disappoint her[5].”
Gibran termangu dengan kalimat Claire. Mimiknya berubah serius.
“What do you mean[6], Claire?”
Claire menoleh pada Gibran, menatapnya tajam, “You know exactly what I mean. Don’t pretending like you feel nothing[7]!”
Saat Claire kembali menatap Emily, gadis itu sudah selesai mengobrol dan tengah menatap mereka berdua. Emily lantas melambaikan tangan sembari tersenyum lebar.
“Pergilah makan siang, Gibran.” Claire tersenyum tipis, “Kau kelihatan lapar berat dengan wajah seperti itu.”
***
Emily memilih lokasi makan siang di luar kampus hari itu. Alasannya untuk suasana baru. Gibran mengikuti, tanpa basa-basi. Dengan menaiki kereta bawah tanah selama 25 menit, mereka tiba di stasiun yang cukup dekat dengan kafe langganan Emily, lantas berjalan kaki sebentar untuk tiba di tempat itu. Cuaca yang cukup cerah membuat keduanya memilih meja yang terletak di luar ruangan. Setelah pelayan datang, makanan dan minuman pun dipesan.
Gibran mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe yang terbuka, menikmati pemandangan sembari menunggu pesanannya tiba. Emily sendiri duduk santai di kursi kayu, melirik Gibran sambil tersenyum.
“Ini pertama kalinya kau ke tempat ini?”
Gibran mengangguk, “Tempat yang bagus.”
“Makanannya juga enak.”
“Kau sering kemari bersama Claire?”
Emily mengernyit. Kenapa dia tiba-tiba membicarakan Claire?
“Aku kemari dengan siapa saja. Seringkali juga sendiri. Ada apa dengan Claire?”
“Well,” Gibran sedikit canggung, “Dia sedikit protes padaku karena kehilangan teman makan siang.”
Emily mendelik lalu tertawa ringan, “Impossible[8]! Kau salah menafsirkan obrolan Claire! Dia hanya terlalu mengkhawatirkan aku!”
Gibran mengangkat alis dan tersenyum paksa.
“Trust me! She’s fine[9]! Aku tahu sifatnya. Dia sahabatku yang paling dekat.”
“Hopefully[10],” Gibran melipat kedua tangannya di atas meja.
Emily lantas mendaratkan tangannya di bahu Gibran dengan wajah yang sedikit mendekat ke arah pria itu.
“Don’t worry[11],” sahutnya pelan dengan tatapan yang meneduhkan, hangat dan membuai.
Gibran yang menatap mata Emily langsung terperangkap dalam pesona itu. Waktu serasa berhenti. Anehnya, Gibran ingin terus larut, jatuh dan jatuh lagi pada buaian yang sama.
“Beauty[12],” gumam Gibran.
Emily mengerutkan alis dan tersenyum penuh tanda tanya, “What?”
“Your eyes. It’s beautiful[13].”
Tak ada nada rayuan yang terselip dalam suara Gibran. Semuanya mengalir pelan, sejujur hatinya saat itu. Emily tersenyum hangat.
“Mutasi itu indah bukan?”
Gibran mendelik, “Mutasi?”
Tangan Emily terangkat dari pundak Gibran. Gadis itu sedikit menjauh, kembali pada posisi duduk semula.
“Mata biru merupakan hasil mutasi. Dahulu kala semua makhluk bermata cokelat. Mutasi gen dalam kromosom menyebabkan matinya kemampuan untuk menghasilkan mata cokelat dan inilah hasilnya!”
Gibran terkesima, sementara Emily menjadi lebih bersemangat.
“Lihatlah cara alam berkreasi, bagaimana mereka menggunakan kita dalam eksperimen. Ternyata alam adalah ilmuwan handal, meski cara kerjanya butuh waktu yang sangat lama. Pelan, tapi hasilnya memuaskan, betul kan?”