Sweet Dream, Emily

Dania Oryzana
Chapter #7

Segelas Susu Untuk Emily

Tahun 2023; Kamar objek 827, Pusat Penelitian Penyakit Otak, Göttingen, Jerman

Piring pecah dan makanan yang bertebaran di lantai adalah pemandangan pertama yang ditangkap oleh mata Gibran. Pria itu tercengang, langsung paham akan situasi yang membuat objeknya terlambat pergi ke lab pagi itu. Gibran lantas memantau seisi kamar. Semua masih tampak normal, berdiri di tempatnya masing-masing tanpa berubah. Kursi, meja kecil, tempat tidur, lemari. Seorang perawat muda bernama Vanda berdiri di sudut kamar sambil melipat kedua tangan di depan dada, sementara Emily duduk diam di atas tempat tidur, masih dengan rambut kusut dan wajah cemberut.

Was fehlt’s denn[1]?” tanya Gibran.

“Dia tidak mau makan dan langsung mengamuk. Piring-piring itu didorongnya ke lantai.” jelas Vanda.

Emily melirik Gibran dengan tatapan marah. Gibran balas menatapnya lantas menarik napas panjang.

“Tinggalkan kami sebentar, Vanda. Aku mau bicara dengannya.”

Vanda segera berjalan menuju pintu, melewati onggokan makanan yang setengah hancur serta serak beling tajam di lantai.

“Aku akan memanggilmu jika sudah selesai,” ujar Gibran pada Vanda sesaat sebelum gadis itu mendekati pintu.

Vanda mengangguk sekali kemudian berjalan keluar kamar. Gibran melangkah pelan menuju tempat tidur Emily lantas berhenti di pinggirnya.

“Mereka memberiku buah!” sahut Emily ketus, “Aku diberi sarapan buah dan aku tidak suka!”

Gibran melirik tumpahan makanan di lantai dari sudut matanya lalu kembali memandang Emily.

“Kau tak hanya diberi buah. Mereka juga memberimu sup,”

“Kau tidak mengerti! Aku diberi buah dalam porsi banyak karena mereka ingin menuntaskan masalah sembelitku! Silly[2]! Sudah tahu aku akan mati, masih saja berbuat yang aneh-aneh!”

Gibran mengusap area sekitar mulutnya sambil bernapas panjang. It’s happen again[3]! Kenapa aku terus berada di situasi macam ini?

“Emily, ahli gizi hanya membuat menu sesuai kondisimu, kebutuhanmu. Itu bukan sesuatu yang aneh.”

“Oh, ya, itu aneh! Kalian yang ada di tempat ini berupaya keras memanjangkan umurku dengan terapi kondisi. Dokter, ahli gizi, perawat, ilmuwan. All of you[4]! Aku tetap akan mati!”

For God sake, Emily, stop saying it! I don’t want hearing the word ‘die’ anymore[5]!

Suara Gibran yang meninggi membungkam Emily. Rasa bersalah segera meliputi Gibran, tapi mau tidak mau dia memang harus melakukan itu. Emily menjadi satu-satunya objek paling keras kepala dan pemarah saat ini, mengalahkan rekor objek-objek depresi yang pernah ada.

Perlahan, mata cekung Emily mulai basah. Wanita itu terus diam, menatap dinding di hadapan. Sekali lagi Gibran dihunjam rasa sesal atas kekasarannya, namun, semua sudah terlambat. Rupa-rupanya, Emily bukan satu-satunya makhluk depresi di tempat itu. Gibran sadar diri bahwa dia tengah stres berat, terbebani luka masa lalu yang akhirnya mengubah perilakunya. Hati-hati dengan sikapmu, Gibran. Jangan terbawa perasaan. Jika Profesor Fsicher tahu…

“Emily,” Gibran duduk menghadap wanita itu, suaranya parau, “Maafkan aku.”

Emily mengusap air matanya yang belum jatuh dengan lengan baju. Dipandangnya Gibran dengan mata sayu.

Lihat selengkapnya