Tahun 2023; Laboratorium FFI, Pusat Penelitian Penyakit Otak, Göttingen, Jerman
Pukul 01.24 pm. Laboratorium dari sub divisi FFI merupakan sedikit tempat yang spesial di gedung itu karena memiliki ranjang yang empuk. Ruangannya terbagi dua dengan ukuran yang berbeda. Bilik besar untuk para peneliti dan bilik kecil untuk sang objek.
Dalam ruang penelitian, desain dan isinya tergolong normal seperti lab pada umumnya. Kursi-kursi, meja kerja, komputer, lemari, tumpukan kertas dan berkas adalah pemandangan biasa, berbeda jauh dengan keadaan dalam ruang eksperimen atau yang biasa disebut ‘kamar tidur’. Ya, tempat itu notabene memang untuk tidur. Dirancang seindah dan senyaman mungkin untuk memudahkan orang tertidur yang sayangnya tidak berlaku untuk para penderita FFI, sekeras apa pun mereka mencoba.
Dipisahkan dari ruang peneliti oleh kisi berkaca, kamar tidur objek berdinding biru, warna yang secara psikologis bisa membantu mendapatkan rasa kantuk. Ranjang dan benda lainnya pun dipilih secara spesifik, sebisa mungkin membantu objek untuk bisa tidur meski dalam presentase kecil. Tak jarang sebelum eksperimen dimulai, objek mendapatkan berbagai macam bentuk terapi untuk memancing rasa kantuk, mulai dari mendengarkan musik, dipijat, minum susu putih hangat hingga yang paling ekstrem dan paling sering dilakukan yaitu menenggak obat tidur.
Ada beberapa alat yang terdapat dalam kamar tidur objek, disebut dalam satu kesatuan sebagai Polysomnogram atau PSG, meski masing-masing alat tersebut sebenarnya memiliki nama sendiri. Meski paham fungsi dari semua alat itu serta cara menggunakannya pada tubuh objek, para peneliti jarang menyiapkan alat sendiri sebelum eksperimen dimulai. Jacob adalah satu-satunya teknisi PSG di laboratorium itu. Dibantu oleh satu atau dua orang perawat, dia biasanya memasangkan alat-alat tersebut ke tubuh objek, memantau proses pengambilan data sampai selesai hingga melepas kembali semua alat itu dari tubuh objek.
Gibran melirik jam tangan lagi. Dia cemas. Menunggu Emily datang ke lab adalah hal yang mendebarkan. Gibran takut Emily mengamuk lagi, atau muntah usai makan siang atau mengeluh sakit kepala atau apa pun. Segala macam tindak-tanduk penderita FFI yang pernah terekam otaknya bermain-main dalam ingatan, menyurutkan optimisme Gibran dengan imajinasi Emily yang mengalami semua itu. Gibran membuang napas lewat mulut. Berat.
Bunyi langkah kaki memancing Gibran menoleh ke pintu masuk. Dari kejauhan, nampak tiga orang bergerak menuju lab. Viktor berada di sisi kiri, berjalan santai dengan jas lab yang terbuka. Di sampingnya, Emily duduk di kursi roda yang didorong oleh Vanda pada bagian belakang. Perlahan, mereka bertiga memasuki laboratorium. Gibran menyambut Viktor duluan.
“Why you take it so long[1]?”
Gibran berbisik pada Viktor dengan nada menggerutu, sementara Vanda terus mendorong kursi roda Emily ke arah kamar eksperimen. Viktor tersenyum sinis.
“What have you done[2]?” tanyanya balik.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku, Viktor! Kenapa lama sekali?”
“Aku harus menunggu Emily selesai makan. Dia mengeluh mual hingga Vanda harus menyuapinya pelan-pelan. Sekarang giliranmu menjawab!”
Gibran mengernyit, “Apanya?”
“Apa yang telah kau lakukan padanya?”
Viktor menelengkan kepala ke arah Emily yang tengah naik ke atas tempat tidur dibantu oleh Vanda dan Jacob. Gibran menoleh sekilas ke arah yang sama lalu menatap Viktor kembali.
“Aku tak mengerti maksudmu!”