Pertengahan Mei tahun 2013; Laboratorium Tiga Kubah, London, Inggris
“Emily! Emily!”
Suara Gibran menggaung di balkon lantai tiga, membuat langkah gadis yang dipanggilnya terhenti. Emily membalikkan badan, menatap Gibran yang tengah lari mendekat. Jas lab pria itu terbuka, berkibar sedemikian rupa akibat embusan angin dari depan. Saat Gibran tiba di hadapan Emily, dia terengah sebentar sebelum akhirnya mulai bicara.
“Ke mana saja kau? Aku mencarimu beberapa hari ini. Apa kau membaca pesanku?”
“Aku cuti. Pesanmu sudah kuterima.” ujar Emily datar.
Alis Gibran mengerut, “Lalu kenapa kau tidak membalasnya? Teleponku juga tidak kau angkat. Aku bertanya pada Claire. Dia cuma bilang kau tidak masuk dan menolak berbicara lebih lanjut. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kau,”
“Gibran, aku yang meminta Claire untuk berbuat seperti itu.”
“What?” Raut wajah Gibran mulai berubah, menunjukkan rasa tidak percaya, “But why[1]? Kau tidak seperti ini sebelumnya…”
“Gibran, aku tidak merasa berbuat salah. Tolong jangan berlebihan.”
“Berlebihan katamu? Aku khawatir karena kau tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan kau sebut aku berlebihan? My goodness, Emily!”
Emily sudah menduga reaksi itu sebelumnya. Dia enggan berkomentar.
“Apa kau marah padaku?” lanjut Gibran.
“No,” Emily menggeleng.
“Lalu? Bisa kau jelaskan apa yang terjadi? Kita bisa makan bersama malam ini.”
“Umm,” Emily mendesah, “Maafkan aku, Gibran. Aku sudah punya janji.”
“Janji?” Gibran mengernyit, “Dengan siapa?”
“Patrick Dillingham, staf lab di lantai dasar.”
Emosi dalam dada Gibran kontan bergejolak. Dia merasa tidak senang.
“Patrick? Apa ini sebuah kencan?”
Raut wajah Emily menunjukkan keraguan, tapi akhirnya dia menjawab dengan gamblang.
“Sebut saja seperti itu karena kami tidak sekadar kencan. Kami akan merayakan sesuatu.”
Rahang Gibran mengeras. Amarah jelas nampak pada wajahnya, namun, dia memilih untuk menahan diri. Emily ternyata telah siap dengan semua itu karena tetap terlihat tenang.
“Kau kencan dengan seseorang sekarang… Lalu apa artinya aku bagimu?” tuntut Gibran.
“Harusnya kau jawab sendiri pertanyaan itu! Apa arti dirimu untukku?” Emily menantang.
“Setelah apa yang telah kita lewati, Emily, kau masih bertanya?”
Emily mendesah, mulai bosan mengumbar argumen.
“Dengar, aku tidak punya banyak waktu. Pembicaraan kita cukup sampai di sini. Kau akan tetap jadi teman yang baik, okay?”
“Jadi seperti itu saja? Hubungan kita berakhir sampai di sini?”
“Hubungan macam apa yang kau maksud? Gibran, sadarlah! Kau tidak pernah menegaskan jenis hubungan yang kita jalani!”
“Astaga, Emily! Haruskah aku mengungkapkannya dengan kata-kata layaknya remaja yang baru jatuh cinta?”