Sweet Dream, Emily

Dania Oryzana
Chapter #12

Debat Pada Malam Ramadan

Pertengahan musim panas, tahun 2013; Apartemen Gibran, London, Inggris

Bulan Ramadan baru berjalan enam hari, tapi Gibran sudah cukup menyesuaikan diri. Ini kali ketiga dia menjalani puasa di London hingga tubuhnya sudah beradaptasi. Musim panas yang berpapasan dengan Ramadan bukan sebuah masalah karena sepanas-panasnya suhu di Inggris, Indonesia masih lebih panas.

Lamanya puasa dalam sehari bisa jadi penyebab orang sedikit lemah pada awal Ramadan karena waktu siang yang lebih panjang dari malam. Imsak yang mendekati jam tiga pagi membuat Gibran selalu bangun sahur pada pukul dua. Selanjutnya, dia akan berbuka menjelang jam sembilan malam.

Bagi Emily yang sudah memacarinya lebih dari dua bulan, itu merupakan hal fantastis. Tadinya Emily berpikir jika Gibran sewaktu-waktu akan pingsan, namun, nyatanya pria itu terlihat baik-baik saja. Sesekali mereka tetap janjian makan siang, tapi hanya Emily yang makan. Pertama kali melakukan hal itu, Emily menduga Gibran tidak akan tahan melihat makanan, namun, lagi-lagi dugaannya salah.

Yang paling parah dalam hubungan mereka dan sempat tidak bisa ditolerir Emily adalah urusan pegangan tangan. Emily selama ini sudah bersabar untuk sebuah ciuman yang tak kunjung datang. Kala Ramadan tiba, Gibran mendadak tak mau menyentuhnya, bagai alergi pada Emily. Alasan utama Gibran adalah karena tengah menahan hawa nafsu dan itu sungguh tidak masuk akal bagi Emily karena menurutnya, pegangan tangan biasa tak akan memicu libido. Walau sudah membujuk mati-matian dengan segala argumen yang dirasa masuk akal, Emily tetap tidak berhasil membuat Gibran menyetujui sentuhan. Alhasil, saat berjalan berdua, gerak-gerik mereka lebih mirip teman biasa atau rekan kerja, bukan pasangan kekasih seperti biasanya.

Dengan berbagai kejutan atas kebiasaan Gibran selama puasa, Emily jadi lebih menahan diri. Sebagai gadis yang mencintai Gibran, dia tetap mendukung kekasihnya meskipun dia sendiri tidak percaya adanya Tuhan.

Seperti malam ini, saat Emily datang ke apartemen Gibran hanya untuk membawakannya makanan berbuka. Menu istimewa dipilih Emily untuk pria itu, berupa daging dan pie yang dibelinya dari restoran halal. Semenjak berpacaran dengan Gibran, beberapa kali Emily diajak kencan di restoran-restoran yang menyediakan makanan halal. Di tempat itulah Emily bisa melihat daya konsumsi Gibran yang sangat lahap pada daging karena dalam kesehariannya, Gibran hampir-hampir menjadi vegetarian atau hanya makan ikan.

Di depan pintu, Gibran menyambut Emily yang menenteng tas berisi makanan dengan senyum lebar. Dia lapar dan hadirnya daging sungguh menambah hasrat untuk makan. Setelah menghidangkan semua makanan di atas meja makan bundar berukuran kecil, Emily mengambil peralatan makan di dapur sementara Gibran langsung duduk manis sembari menatap makanan di hadapannya. Saat kembali, Emily membawa dua buah piring dan langsung meletakkannya di meja. Dia lantas duduk bersebelahan dengan Gibran.

Guten Appetit!” Gibran berkata girang lalu segera mengambil makanan.

Emily tersenyum melihat tingkah pria itu. Saat Gibran selesai, gantian dia yang mengisi piring dengan makanan.

Oh, I’m starving[1]!” ujar Emily sambil mengunyah.

Gibran meliriknya dengan heran, “Kau belum makan?”

Not yet[2],” Emily menyuapi mulutnya dengan potongan kentang panggang, “Aku ingin makan denganmu.”

“Harusnya kau makan dulu walau sedikit.”

Well, anggap saja aku ingin mencoba puasa walau sebentar agar sama-sama lapar sepertimu, tapi sungguh, aku tidak tahan!”

Gibran terbahak sebentar lalu kembali makan, “Kau sepertinya butuh usaha kuat kalau mau berpuasa pertama kali.”

“Ohya, aku mungkin akan pingsan saking lemahnya!”

Gibran tersenyum simpul. Makan malam itu pun berlanjut tanpa percakapan lagi karena mereka berdua sibuk mengisi perut yang keroncongan. Saat semua berakhir dan rasa kenyang mulai terasa, obrolan mereka dimulai lagi, dengan selingan jus dan pie.

“Oh, ini luar biasa!” Emily mengunyah pie dalam mulutnya.

“Maksudmu rasa pie-nya?” Gibran ikut mencicipi.

Emily menggeleng, “Rasa kenyang ini, luar biasa sekali! Bayangkan jika tubuh makhluk hidup tidak berevolusi menciptakan alarm kenyang, apa jadinya kita nanti? Kita akan makan terus tanpa sadar bahwa perut sudah penuh, yang mungkin berujung pada muntah atau sesak napas. Kita akan jadi makhluk rakus. Aku tidak bisa membayangkannya.”

Lihat selengkapnya