Awal Oktober tahun 2023; Taman belakang gedung Pusat Penelitian Penyakit Otak, Göttingen, Jerman
Halaman itu tetap terlihat indah meski dalam musim gugur. Serakan daun mati di atas tanah tak lantas membuat suasana muram. Dengan beberapa kursi kayu bercat putih yang tersebar di setiap sudut, taman itu selalu menjadi tempat favorit para objek untuk melepas suntuk.
Emily duduk menghadap semak yang jaraknya beberapa meter di hadapan serta tak lagi berbunga. Udara yang dingin tak memengaruhinya untuk menikmati momen itu, melihat daun berguguran satu persatu, ranting dan cabang yang meranggas gersang serta lantai tanah yang marak dengan daun mati. Tubuhnya masih memakai jubah longgar, hanya berbalut mantel tipis.
Dari arah belakang, Gibran datang mendekat, berjalan pelan dan hati-hati, menjaga setiap langkahnya agar tidak menimbulkan bunyi berisik saat menginjak daun, seakan-akan takut mengganggu Emily. Ketika sampai di bagian belakang kursi, Gibran tak lantas memutar ke depan untuk duduk. Dia berhenti sebentar, menikmati siluet rambut dan punggung Emily seperti dulu, saat mereka berada di perpustakaan.
Detik demi detik terlewati. Lalu, Gibran bergerak ke depan kursi dan duduk. Emily tahu kedatangan pria itu tapi dia tetap bergeming. Ada jarak yang melintang di antara mereka karena keduanya sama-sama duduk di pinggiran kursi, namun, itu bukanlah masalah. Kebersamaan mereka tetap terasa. Hati mereka seakan satu.
“It is cold here. You should stay in your room[1].”
Gibran membuka suara dengan arah pandang yang sama dengan Emily, ke arah semak tak berbunga.
“It doesn’t matter[2],” Emily berucap pelan, “Orang bilang ketika seseorang akan mati, biasanya dia akan merasa kedinginan. Aku hanya tengah membiasakan diri agar saat tiba waktunya nanti, aku telah terbiasa.”
Rasa sesak membelenggu dada Gibran, perlahan dan menyakitkan. Mengingat kematian Emily adalah satu-satunya hal yang sangat ingin dia hindari saat ini.
“Kau akan hidup lama, Emily. Aku percaya itu,” ujar Gibran getir.
Emily tersenyum tipis, “Prediksi sains kadangkala salah, namun, seringkali benar. Kau berkata seperti itu hanya untuk menyemangati dirimu sendiri, Gibran karena kau tidak mau melihatku mati. Betul kan?”
Rahang Gibran mengeras. Dia membisu. Buntu.
“Aku telah berhenti menyalahkan orang tuaku,” Mata Emily bergerak ke bawah, pada daun-daun yang telah menguning, “Aku sadar bahwa mereka tidak bersalah. Entah siapa di antara mereka yang membawa gen tersebut, tapi aku tahu pasti, mereka pun tidak menginginkan hal itu. Satu-satunya penyesalan mereka mungkin karena aku akan mati lebih dulu. Itu saja.”
Satu daun kuning yang tersisa pada cabang pohon di dekat mereka tiba-tiba lepas, jatuh perlahan dengan gerakan mengayun-ayun lalu singgah di bahu Gibran. Pria itu melirik sejenak lalu kembali menatap semak di depannya tanpa mengindahkan kehadiran daun tersebut.
“Banyak orang tua ingin diantar anaknya ke pemakaman, tapi yang akan terjadi padaku adalah sebaliknya. Ibuku akan menangis melihat jasadku. Well, setidaknya aku beruntung tidak akan sempat melihatnya sesedih itu.”
Batin Gibran makin tersiksa dengan kalimat Emily, tapi dia tetap bungkam. Menjadi pendengar yang baik untuk Emily merupakan pilihan terbaik saat ini.
“Gibran?”
“Yes?”
“Kenapa kau tak pernah pulang?”
“Ke Indonesia?”
“Bukan. Inggris.”
Gibran diam. Emily ikut diam. Hawa dingin terasa kian menusuk.
“Inggris bukan rumahku.” jawab Gibran kemudian.
Emily tersenyum getir, “Ya, Inggris tidak pernah jadi rumahmu.”
Gibran bergerak mengubah posisi duduknya hingga daun di bahunya jatuh ke tanah.
“Kenapa kau kemari, Emily?”
“Ibuku orang Jerman, Gibran. Apa kau lupa?”
“Aku ingat itu, tapi yang kutanyakan, kenapa kau ke tempat ini? Kenapa kau sukarela menjadi objek penelitian? Kenapa kau… mencariku?”
“Kau terlalu banyak bertanya sementara kau sendiri sudah tahu jawabannya.”
Gibran tertegun. Dia menunduk.
“Don’t feel guilty[3], Gibran. Don’t.”
Gibran menoleh pada Emily, “Auf Regen folgt Sonnenschein, Emily. Sinar matahari selalu mengikuti hujan. Harapan hidupmu masih ada.”
Emily mengangkat dagunya dan tersenyum sinis, “Du kannst mir nichts vormachen[4], Gibran. Penelitian FFI sudah dilakukan bertahun-tahun tapi misteri dan cara penyembuhannya belum terpecahkan. Objek-objek yang kalian sudah teliti bisa dibilang mati sia-sia. Mereka dan juga diriku kelak hanya akan meninggalkan data, kalian menganalisis lalu selesai begitu saja.”
“Kami masih butuh waktu,”
“Sampai kapan? Sementara setiap detik FFI makin berkembang, menyebar tanpa rintangan. Setiap saat ada saja bayi yang lahir dengan penyakit turunan itu. Oh, ya, aku baru sadar, evolusi memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sementara mutasi biasanya lebih cepat, dengan hasil akhir pedih dan menyakitkan.”
Gibran menarik napas. Dia pasrah.
“Sudah waktunya kau untuk kembali ke dalam, Emily. Aku tidak mau kau sakit lagi.”
“Imunitasku sudah menurun drastis. Wajar bila aku sering demam. Hari ini aku cukup sehat, jadi kau tidak perlu khawatir.”
“Sesekali kau harus mendengarkan pengawasmu ini, Emily,” Gibran kehabisan akal hingga merasa was-was.
Emily menoleh pada Gibran, “Oh, apa aku membuatmu marah?”
Gibran melirik Emily dari sudut matanya lalu kembali memandang ke depan, “Sedikit.” ujarnya cepat.
Senyum tersungging dari bibir Emily, seperti baru melihat sesuatu yang lucu.