Sweet Dream, Emily

Dania Oryzana
Chapter #14

Nasihat Seorang Sahabat

Awal musim gugur tahun 2013; Laboratorium Tiga Kubah, London, Inggris

Claire sudah menatap Emily berkali-kali hari ini, sedikit kesal karena merasakan ketimpangan dalam bekerja. Sedari pagi dirinya sudah sibuk bolak-balik di seantero ruangan lab, mulai dari menyiapkan zat, bertemu para relawan yang menjadi kelinci percobaan mereka, menulis data laporan, mencuci gelas hingga merapikan lab, sementara Emily lebih banyak berkutat dengan komputer tanpa menghasilkan apa-apa bahkan sering terlihat melamun.

Puncak kekesalan Claire terjadi ketika menjelang siang hari Emily makin bertingkah. Setiap kali diajak bicara, dia hanya menjawab seadanya lantas kembali melamun di depan komputer. Claire merasa tak dianggap serta kadung lelah bekerja sendirian. Karena tak tahan lagi, didekatinya Emily dari arah samping lalu tangan Claire bergerak cepat mematikan layar komputer secara manual dengan menekan tombol power.

Hey?” Emily sontak kaget dan langsung bereaksi. Dia menegakkan punggung lalu menatap Claire dengan kesal, “What are you doing[1]?

I need you to stay focus[2], Emily! Kau sedang bekerja saat ini, bukan melamun!”

I am working[3]!

“Apa yang telah kau kerjakan?” Nada suara Claire meninggi, “Aku melakukan semuanya sedari pagi! Ini benar-benar tidak adil! Ada apa denganmu? Kenapa kau malas sekali hari ini?”

Emily menarik napas panjang dan membuang pandangan ke arah lain. Claire habis kesabaran. Dilipatnya kedua tangan di depan dada lalu dia mendengus kencang.

Tell me what happen[4], Emily! Aku berhak untuk tahu!”

Emily cemberut. Dia enggan membuka mulut.

“Kau tidak bisa begini terus! Aku tidak mau bekerja sendirian sementara kau bermalas-malasan! Kalau kau tidak mau kerja, pulanglah! Ambil cuti dan jangan datang sebelum dirimu kembali seperti sediakala!”

Perlahan, Emily mendongak. Matanya bertemu dengan mata Claire. Emily ingin marah, tapi ternyata dia tidak bisa. Kekesalan yang nampak dari mereka berdua ternyata hanya di permukaan saja, sementara jauh di bawah kulit dan daging, keduanya masih saling menyayangi selaku sahabat. Tatapan Claire tak serupa dengan nada suaranya yang tinggi. Mata itu syahdu, meminta penjelasan dari Emily serta menyiratkan sebuah harapan akan bantuan karena untuk itulah seorang sahabat ada, demi memberi pertolongan bahkan ketika tidak diminta.

Emily mendadak gundah. Dia ingin memuntahkan semua asa. Hanya saja dia tak tahu harus memulai darimana. Gadis itu menunduk seraya memikirkan kata yang tepat untuk memulai.

“Apa ini karena Gibran?” celetuk Claire tiba-tiba.

Emily menatap sahabatnya, “How do you know[5]?

Claire langsung tersenyum sinis, “Oh, I know. It’s easy[6]. What happen?

Nothing. I just,

Nothing?” Claire mendelik lalu menarik sebuah kursi di dekatnya, “Kau uring-uringan seperti ini dan tidak ada apa-apa? Omong kosong!” Dia duduk tegap, siap mendengar cerita Emily.

It’s true, Claire. We are fine[7]. Hanya saja…” Emily terdiam sebentar lalu meneruskan bicara, “Hanya saja semua ini makin terasa sulit bagiku, hari demi hari.”

Lihat selengkapnya