Tahun 2023; Sub divisi FFI, Pusat Penelitian Penyakit Otak, Göttingen, Jerman
Langkah kaki Gibran yang cepat begitu selaras dengan kegundahannya yang membuncah. Otak Gibran seakan sekarat, buntu tanpa bisa berpikir apa-apa. Dia telah kehilangan sesuatu yang amat besar, lebih parah dari sekadar kata pecat. Emily lepas dari tangan dan kondisi itu tak bisa dimaafkan.
Tatapan Gibran kosong. Disusurinya lorong-lorong gedung dengan gamang. Setiap berpapasan dengan orang, Gibran tak peduli. Tempat itu tiba-tiba tak bersahabat lagi dengannya, berubah menjadi musuh yang membunuh. Kekejaman Hans dalam menjebaknya masih bisa dimaafkan Gibran, tapi lenyapnya tanggung-jawab Emily dari dirinya merupakan sesuatu yang tak bisa diterima, terutama karena Emily diserahkan pada peneliti lain yang merupakan musuh bebuyutan Gibran.
Tubuh Gibran yang tegap sesekali limbung akibat derasnya desakan stres di otak. Dia nyaris sampai di lorong yang mengarah ke kantor pribadinya. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?
“Gibran!”
Viktor mendadak muncul di belakangnya, terpaut dua meter dengan langkah-langkah besar karena mengejar Gibran. Kesadaran Gibran kembali. Dia berhenti.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Viktor setibanya di dekat Gibran.
Gibran membalikkan badan dengan gontai, berharap Viktor menemukan jawaban hanya dengan melihat raut wajahnya yang suntuk.
“I’m sorry…” lanjut Viktor sambil terengah.
“Sorry?” Gibran mengernyit, “Kenapa tadi kau tidak bilang kalau dia sedang menjebakku?”
Viktor mendelik, “Kau mau aku dipecat?”
Gibran menggeram dan berbalik. Kakinya lantas dipacu cepat menuju ruang kantor. Viktor mengerjarnya lagi.
“Harusnya kau bisa membaca petunjuk dari wajahku! Aku memberi kode dengan mimik muka dan tatapan mata!”
“Kau sungguh-sungguh tidak ekspresif, Viktor, kecuali bermuka badut!” umpat Gibran kesal.
Viktor terperangah sambil terus berjalan. Baiklah! Ini sudah yang kedua kali aku dipanggil badut! Besok-besok jika dipecat dari tempat terkutuk ini, aku akan melamar ke sirkus! Sialan!
“Aku sudah berusaha, Gibran.”
Gibran mendengus, “Terserahlah!”
Dia sampai di depan pintu dan langsung memutar gagangnya. Saat pintu terbuka, Gibran melesat masuk dan berjalan menuju loker yang ada di depannya untuk mengambil tas. Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Viktor yang hendak memasuki pintu pun melakukan hal yang sama, berhenti dan mematung karena telah melihat sesuatu.
Gibran terdiam. Matanya membelalak. Degup jantung yang makin keras membuat napasnya kian berat. Saat memasuki kantornya tadi, sekilas matanya menangkap sesuatu dari arah sudut kanan. She’s here[1]? Perlahan, Gibran memutar badan hingga mengarah pada meja kerjanya dan dia terkesiap.
“Sekeras apa pun kaum lelaki mencoba menang dari wanita, mereka selalu kalah! Sejarah telah banyak membuktikannya bahwa arogansi laki-laki selalu takluk di kaki wanita, demikian pula hari ini.”
Rahang Gibran mengeras. Emosinya mendadak naik. Elena Hoffmann!
Kaki jenjang Elena yang mulus tergantung beberapa inci dari permukaan lantai. Tapak kakinya berbalut sepatu hitam berhak tinggi. Sedikit naik ke atas, rok hitam di atas lutut dengan pantat yang menduduki meja kerja, atasan kemeja biru bergaris vertikal halus serta baju lab dengan kancing yang terbuka adalah penampilan pertama Elena yang tertangkap mata Gibran.
“Guten Abend[2], Gibran. Lama tak jumpa,” Elena menyapa dengan senyum dingin.
Tatapan Gibran sampai pada wajah Elena. Tak ada yang berubah dari perempuan itu sejak pergi dari Göttingen setahun yang lalu. Parasnya masih cantik namun tegas, dengan sorot mata tajam bak hendak membunuh. Rambut hitamnya yang panjang masih tetap dikuncir kuda. Elegan sekaligus arogan.
“What are you doing here[3]?”
Gibran berkata dingin, menggunakan bahasa Inggris dengan maksud menyindir Elena. Semua peneliti di gedung itu tahu bahwa Elena sangat nasionalis. Selama kakinya masih berpijak di negara itu, dia tidak mau berbicara dalam bahasa apa pun selain Jerman meskipun menguasai bahasa Inggris dengan baik serta sedikit bahasa Prancis.
“Aku sedang meninjau ulang kantor sainganku, yang ternyata tidak lebih baik dari kantorku.” Elena tersenyum mengejek.
Viktor yang masih mematung di pintu memilih untuk jadi penonton. Dia bersyukur kehadirannya tidak digubris oleh dua makhluk yang berseteru itu.
“Tidak ada yang mengizinkanmu masuk kemari. Berlin rupanya menjadikanmu orang yang tidak tahu sopan santun!”