Musim gugur tahun 2013; Apartemen Gibran, London, Inggris
Emily baru pulang dari laundry saat dia menyambangi apartemen Gibran dengan kantung plastik besar di tangannya. Setibanya di situ, dia langsung membuka pintu yang memang tidak terkunci.
Saat masuk ke dalam, Emily mendapati Gibran tengah berdiri di sudut ruangan, menghadap ke arah jendela seraya menelepon seseorang. Gibran menoleh sebentar ketika Emily masuk kemudian dia kembali ke posisi semula dan meneruskan perbincangan.
Emily semringah melihat kekasihnya yang dibalut mantel cokelat bercorak simpul. Pakaian itu adalah pemberian darinya dan Gibran sangat suka memakainya, terutama pada cuaca dingin. Diletakkannya plastik besar berisi pakaian di atas lantai, lalu Emily membuka jaket. Dia pergi ke dapur untuk membuat cokelat hangat.
“Ya, bu, titip salam untuk pakde dan keluarganya. Mohon disampaikan maaf Gibran karena tidak bisa menghadiri pernikahan Nunung.” Gibran bergerak menjauhi jendela dan berjalan menuju sofa, “Iya, iya, bu. Akan Gibran ingat itu. Sudah dulu, bu, Gibran mau ke toilet. Assalamu’alaikum.”
Sambungan telepon terputus. Ponsel pun dilempar ke sofa. Gibran mendengus pelan. Mukanya kusut. Dijatuhkannya tubuh ke atas sofa demi mencari ketenangan. Satu lagi sepupu menikah dan ibu jadi makin panik. Sampai kapan harus begini? Kenapa aku tidak bisa hidup tenang di sini?
“Gibran?” Emily tiba di sisinya dan duduk di sofa lain berukuran satu orang. Tangannya menggenggam cangkir dengan isian cokelat hangat, “Siapa tadi yang menelepon?”
Gibran melirik Emily dengan malas, “Ibuku.”
Emily sedikit terlonjak dari kursinya, “Really? How is she[1]?”
“Fine,” jawab Gibran asal-asalan.
Kening Emily mengerut, “What’s the matter? You look unhappy[2].”
“Hanya masalah pernikahan sepupuku.”
“Apa hubungannya dengan ibumu?”
Emily menyesap cokelat hangatnya selagi menanti jawaban Gibran. Gibran menerawang menatap langit-langit.
“Aku belum kunjung menikah, itu masalahnya. Bagi kami di Indonesia, hal seperti ini sensitif sekali.”