Tahun 2023; Sub divisi FFI, Pusat Penelitian Penyakit Otak, Göttingen, Jerman
Seorang wanita berambut cokelat ikal dengan jas lab tengah menunggu di depan lift lantai tiga. Pandangannya tertuju pada angka yang berubah-ubah di atas pintu lift, terhitung mundur sesuai urutan lantai dari atas. Saat terpatok pada angka tiga, bunyi denting terdengar diikuti pintu lift yang membuka.
Wanita yang hendak masuk lift itu tiba-tiba mendelik. Di hadapannya berdiri Emily, sendirian, dengan tatapan yang tajam dan dingin. Tak ayal, wanita tadi mundur tiga langkah, sedikit ketakutan dengan datangnya objek tanpa pengawal sekaligus berniat memberi jalan untuk Emily.
Emily melangkah keluar dari lift dengan kaki telanjang. Dia menyusuri lorong-lorong sempit dengan cepat. Setiap menemukan pintu, dia mencoba membukanya. Jika terkunci, dia beralih pada pintu selanjutnya dan jika terbuka, dia akan melihat ke dalam.
Beberapa kali para penghuni kantor pribadi terkejut bukan main karena pintu mereka dibuka dengan kasar dan Emily muncul dari baliknya dengan muka menyeramkan. Tak kunjung menemukan ruangan yang dia cari, Emily berbalik, setengah berlari menuju lorong berikutnya.
Tatkala dia melewati lorong lift, bunyi denting terbit lagi dan pintunya terbuka. Langkah Emily kontan terhenti dan dia melirik cepat. Dari lift nomor dua yang berada di sebelah lift-nya tadi, muncul dua orang pria berseragam putih-putih. Emily terbelalak, begitu pun kedua pria itu.
“Itu dia!” seru salah satu dari mereka.
Emily langsung lari, menyusuri lorong yang hendak ditujunya tadi. Ketika menemukan pintu, dia mencoba membukanya. Karena terkunci, dia berpindah ke pintu selanjutnya dengan gesit. Dua perawat tadi mengejarnya seraya memanggil-manggil Emily, tapi dia tidak peduli dan terus berlari.
Saat jarak mereka makin dekat, Emily panik. Meski begitu, dia tetap membuka pintu-pintu hingga akhirnya tiba di pintu terakhir pada ujung lorong. Pintu kantor Gibran.
Brak! Suara tabrakan yang keras pada pintunya membuat Gibran mendongak. Terdengar teriakan lirih sesaat, kemudian pintu terbuka. Gibran terhenyak di kursinya.
Emily masuk ke dalam dengan cepat, namun, tangan dan perutnya tibat-tiba ditangkap. Dia meronta, berteriak minta dilepaskan, terutama ketika sudah melihat Gibran. Dua perawat yang menangkapnya sedikit kewalahan. Melihat hal tersebut, Gibran langsung berdiri dan menepis tangan perawat yang memegang lengan Emily.
“Lepaskan dia! lepaskan dia!” Gibran mencengkeram kedua tangan perawat yang satu lagi dan menariknya lepas dari perut Emily, “Jangan sakiti dia! Apa-apaan kalian ini?”
Plak! Sebuah tamparan singgah di pipi kiri Gibran, meninggalkan bekas memerah serta rasa sakit. Emily melayangkan tangannya dengan kuat, cepat dan tepat, mewakili amarahnya yang tengah meletup pada pria itu. Dua perawat pria di belakang Emily hanya terdiam melihat hal tersebut.
“Emily?” Gibran menatap wanita itu dengan rasa tidak percaya.
“I hate you[1]!” teriak Emily dengan pilu, “I really hate you[2]!”