Awal musim dingin tahun 2013; Apartemen Emily, London, Inggris
Saat ini bulan Desember. London berselimutkan udara dingin yang menyengat. Gibran berjalan kaki menuju tempat Emily dengan memakai jaket tebal. Mereka akan makan malam bersama dan dia tidak mau terlambat.
Emily memasak sendiri semua makanan malam itu. Dengan menu vegetarian serta muffin sebagai makanan penutup, rasa lapar Gibran musnah seketika. Setengah jam adalah waktu yang mereka perlukan untuk acara makan malam dan semua selesai dengan kepuasan.
“It’s delicious[1], Emily,” Gibran mereguk air putih dari gelasnya, “Thank you very much[2]!” lanjutnya kemudian seraya memandang Emily dengan senyuman.
Emily tertawa ringan, “Setiap kali memasak untukmu, aku pasti jadi vegetarian.”
“Sayur baik untuk kesehatan,” Gibran mengangkat kening dengan wajah menggoda.
“I know!” Emily tertawa lagi dan menatap piring-piring di hadapannya, “Lain kali aku akan beli daging di tempat langgananmu, biar asupan protein kita bisa bertambah.”
“Well, tempatnya memang cukup jauh dari sini,”
“Dan aku tidak keberatan bila kau yang membelinya supaya aku tinggal memasak.” Emily mendelik pada Gibran.
Gibran menahan senyum, “Clever[3]!”
“Precisly[4].” Senyum mengejek muncul di wajah Emily.
Gibran menarik napas, menyiapkan dirinya untuk sesuatu sementara Emily menumpuk piring-piring kotor menjadi satu.
“I want to tell you something[5],”
Gibran melirik Emily, menanti reaksi dari gadis itu. Emily selesai menumpuk piring dan menoleh padanya.
“What?”
“Kau ingat dengan perkataanku soal tawaran dari Profesor Haynsworth waktu lalu?”
Emily berpikir sejenak lalu menebak, “Soal magang di Jerman?”
“Ya, nona manis, dan beasiswa untuk S3!” Mata Gibran berbinar dengan senyum merekah.
“My goodness!” Emily menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ekspresinya sungguh bahagia, “Lovely[6]!” pekiknya girang, “Give me a hug[7]!”
Tangan Emily terentang, meminta pelukan hangat dari Gibran yang langsung dituruti oleh lelaki itu. Mereka saling mendekap, tertawa beriringan, larut dalam kebahagiaan. Tak lama, keduanya saling melepaskan diri lantas berpandangan.
“Ini luar biasa, Gibran!”
“Menurutmu kenapa aku meminta makan malam spesial?”
“Aaah,” Emily tersenyum lebar, “Kau sungguh penuh kejutan!”
Senyum Gibran perlahan pudar, menyisakan sedikit kesedihan di matanya.
“Awal tahun depan aku berangkat…”
Emily ikut terdiam, tapi dia tak nampak sedih, “Sungguh suatu kebetulan,” Dia menarik tangan Gibran dan menggenggamnya di dekat wajah, “Penelitianku dan Claire sudah hampir selesai. Claire bahkan mendukungku keputusanku. Aku akan ikut denganmu ke Jerman.”
Mata Emily menyiratkan kesenangan yang memuncak, berharap apa yang dia katakan akan terwujud secepatnya. Gibran justru termangu.
“What do you mean?” Gibran sedikit gugup.
“Ibuku di sana, Gibran! Tidakkah itu menyenangkan? Akhirnya aku bisa mengenalkanmu pada beliau!”
Gibran menarik tangannya dari genggaman Emily, “Tunggu sebentar. Apa maksudmu dengan ikut denganku ke Jerman?”
Emily menarik napas, “Kau pikir aku tidak memikirkan sesuatu saat pertama kali kau cerita tentang tawaran Profesor Haynsworth?”
“Oh,” Gibran mendadak gagu, bingung merangkai kata-kata, “Kupikir kita akan berhubungan jarak jauh sambil sesekali saling berkunjung,”