Sweet Dream, Emily

Dania Oryzana
Chapter #19

Akhir Indah Sebuah Over Dosis

Pertengahan Oktober tahun 2023; Pusat Penelitian Penyakit Otak, Göttingen, Jerman

Hampir dua minggu sudah Gibran tak melihat Emily. Semenjak amukan yang terjadi di kantor pribadinya, Emily tak mau lagi didekati. Sekali dua kali Gibran diusir saat mendatangi kamarnya. Elena lantas mengetahui hal tersebut dan langsung mengancam akan melapor pada Hans. Gibran akhirnya tak berkutik, benar-benar mati kutu.

Emily juga tak pernah pergi ke taman belakang lagi. Kecuali untuk keperluan eksperimen di lab, dia tak pernah melangkahkan kaki keluar dari kamar.

Gibran stres. Pikirannya terkungkung oleh nasib wanita itu. Bahkan, untuk bertanya pada para perawat pun dia sungkan karena mata-mata Elena beredar di mana-mana. Jacob sendiri tak bisa diandalkan lantaran terlalu takut dengan kesangaran Elena. Jadilah Gibran uring-uringan, susah konsentrasi setiap harinya. Pekerjaan berantakan, makan tidak berselera dan tidur pun gelisah.

Viktor jadi satu-satunya tempat Gibran menumpahkan segala asa. Dia berusaha jadi pendengar yang baik, tanpa pernah memotong pembicaraan Gibran. Meski demikian, belum ada satu pun nasihat yang keluar dari mulut Viktor. Dia tahu, Gibran cukup dewasa untuk pulih dari kekalutan tanpa embel-embel petuah. Viktor hanya menunggu waktu yang tepat dan itu bukan saat ini.

Tengah hari, kala waktu istirahat, Gibran tengah berjalan menyusuri lorong lantai dua yang salah satu sisinya dibatasi dinding kaca, menyuguhkan pemandangan taman belakang gedung yang penuh guguran daun. Seorang pria berseragam putih-putih lantas muncul dari kejauhan, berlari kecil mengejarnya.

Herr Gibran! Herr Gibran!

Langkah Gibran terhenti. Dia menoleh ke belakang. Heinrich tampak mendekat dengan laju lari yang mulai berkurang. Setelah tiba di depan Gibran, dia berhenti. Gibran pun membalikkan badan agar sempurna berhadapan dengannya.

“Ada apa, Heinrich?”

“Bisa saya bicara sebentar dengan tuan Gibran?”

“Masalah apa?”

“Nona Paddock.”

Raut Gibran berubah tegang seketika, “Ada apa dengan Emily?”

“Saya sebenarnya dilarang untuk mengatakan ini pada anda, tapi saya tidak tahan lagi,”

“Katakan padaku, apa yang terjadi pada Emily?” Suara Gibran meninggi.

Heinrich diam sejenak lalu mulai bertutur, “Nona Paddock depresi lagi. Dia sering marah-marah dan mengamuk. Pernah sekali saya dapati dia tengah menangis sambil meringkuk di tempat tidur. Vanda dan beberapa perawat wanita mulai tak tahan dengannya.”

Gibran mendesah. Dadanya sesak.

“Akhir-akhir ini Nona Paddock tidak bisa tidur lagi secara alamiah meskipun hanya dalam waktu singkat. Saat eksperimen,” Heinrich menarik napas, “Nona Hoffmann terpaksa menambahkan dosis obat tidurnya.”

Wanita monster itu! Dia akan membunuh Emily pelan-pelan!

“Apa Profesor Fsicher tahu tentang hal ini?”

Heinrich menggeleng dengan wajah ragu, “Saya tidak tahu.”

“Elena benar-benar cari masalah denganku!” rutuk Gibran, “Apalagi yang menimpa Emily?” lanjutnya.

“Seminggu terakhir ini, Nona Hoffmann juga memaksa kami untuk…” Heinrich terdiam.

Gibran memicingkan matanya, “Untuk apa?”

“Saya pikir sebaiknya anda melihatnya sendiri.”

***

Gibran tersentak saat tiba di pintu kamar Emily. Tempat tidurnya berantakan, seperti habis terjadi penganiayaan. Tak jauh dari situ, menghadap ke arah kamar mandi, Elena berdiri dengan pongah, membelakangi Gibran dengan dua tangan yang terlipat di depan dada.

Terdengar suara jeritan Emily dari dalam kamar mandi. Gibran mendadak panik. Dia masuk tanpa permisi dan langsung melesat ke pintu kamar mandi. Elena yang terkejut dengan kehadirannya langsung bereaksi. Ditariknya baju lab Gibran pada bagian lengan dengan kasar hingga Gibran limbung.

“Apa yang kau lakukan di sini?” cecar Elena.

Gibran menarik lengannya dari pegangan Elena, “Menghentikan tindakan biadabmu, apa pun itu!”

“Akan kulaporkan kau pada profe,”

“Laporkan saja dan kau akan kehilangan mainanmu!” hardik Gibran dengan mata membelalak.

Elena mendelik, cukup terkejut dengan tantangan dari Gibran. Jari telunjuknya terangkat mengarah langsung ke wajah pria itu.

“Kau,” Elena geram setengah mati hingga tak tahu lagi apa yang harus diucap.

Gibran merasa di atas angin walau sejenak. Sejahat-jahatnya Elena, dia tetap memiliki kelemahan dan Gibran tahu apa itu. Kompetisi adalah mainan kesayangannya. Tanpa Gibran di tempat itu, Elena tak punya saingan berat lagi. Dia akan menjadi superior tanpa perlawanan apik dan itu sungguh tidak asyik.

Lihat selengkapnya