Awal November tahun 2023; Pusat Penelitian Penyakit Otak, Göttingen, Jerman
Keputusan Emily untuk kembali ke Pusat Penelitian usai pulih sungguh mengejutkan semua orang, tak terkecuali Gibran. Tadinya mereka berpikir bahwa dia akan berhenti menjadi relawan objek dan kembali pada keluarganya. Kenyataannya, semua berbeda. Hanya Elena satu-satunya orang yang senang dengan hal tersebut karena permainannya masih akan terus berlanjut dan dahaganya dalam melihat kekalahan Gibran bakal terpuaskan.
Emily dijemput mobil milik Pusat Penelitian dari rumah sakit pagi itu. Vanda dan seorang perawat pria menyambutnya di pintu masuk gedung, lengkap dengan sebuah kursi roda. Dia akan menjalani eksperimen dua hari mendatang. Selama rentang waktu menuju ke sana, kondisi Emily akan dipulihkan lagi dengan nutrisi dan perawatan lainnya, hanya kali ini, melalui perlakuan khusus.
Kasus pencurian obat tidur dari pos perawat membuat Emily berada dalam penjagaan ketat. Pintu kamarnya akan selalu terkunci, dibuka hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Emily tidak keberatan dengan keadaan itu lantaran dia sadar betul dengan akibat perbuatannya.
Pintu lift membuka dengan angka sepuluh tertera di atasnya. Kursi roda Emily terdorong keluar, dengan Vanda di bagian belakang serta perawat pria sebagai penjaga. Mereka berjalan menyusuri lorong hingga sampai di depan pintu kamar Emily yang terbuka. Vanda lalu membelokkan kursi roda, mendorong Emily masuk ke ruangan itu. Di dalamnya, berdiri dekat jendela, Gibran memandangi Emily dengan lesu.
Emily berdiri menuju tempat tidur dengan dibantu oleh Vanda. Satu perawat lain meletakkan tas berisi barang-barangnya di dekat lemari. Gibran menunggu hingga semua aktivitas itu selesai dan para perawat pergi. Setelah itu, dia mendekati Emily.
“Kau akan dibunuh Elena jika dia tahu tentang ini.” Emily tersenyum kecut.
“Aku akan membunuhnya lebih dulu sebelum itu terjadi,” ujar Gibran sambil duduk pada pinggiran ranjang Emily, “Dia telah berbuat kejam padamu.”
“Oh ayolah, Gibran, kalian semua kejam pada objek-objek kalian!”
Emily berbaring dan menarik selimut tipis hingga area perutnya. Gibran sedikit membungkuk untuk bisa melihatnya dengan jelas.
“Bukankah ini masih terlalu pagi untuk tidur?”
Emily tertawa lirih, “Pagi, siang atau malam tidak berpengaruh untukku.”
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan di taman? Kau tidak rindu dengan guguran daun di sana?”
Tatap Emily tertuju pada Gibran. Sendu.
“Aku ingin di sini saja. Lagi pula, kau akan berada dalam masalah lagi jika terlihat berdua denganku.”
Ekspresi Gibran berubah serius, “Mereka bisa memecatku kapan saja. Aku tidak peduli lagi. Dengan begitu, kau akan pulang ke rumah. Aku yang akan merawatmu.”
Terdengar tarikan napas yang dalam dari Emily, diikuti embusan berat.
“Oh, Gibran,” Dia tersenyum tipis, “Kau sungguh tidak menghargai pengorbananku menjadi objek di tempat ini hanya demi bisa bertemu kau lagi.”
***
Rapat siang itu berjalan alot dengan Hans sebagai pemimpinnya. Pembicaraan objek lain seakan tak penting lagi tatkala masalah Emily diangkat ke permukaan. Hans memperingatkan Elena dan Gibran bergantian, melarang keduanya saling intervensi serta berbuat gegabah. Tindakan kasar dan pemaksaan dilarang keras, begitu pula perhatian lebih. Gibran dan Elena sama-sama tidak menang kali ini, namun, perang dingin mereka belum usai.
Saat rapat selesai, Hans menjadi orang pertama yang meninggalkan ruangan itu, disusul beberapa peneliti lain hingga menyisakan Elena dan Gibran. Viktor yang tadinya hendak keluar juga akhirnya mengurungkan niat ketika melihat dua manusia itu tetap duduk di tempatnya dan menatap sinis satu sama lain.
“Keluarlah, Viktor. Tunggu aku di luar. Aku punya sedikit masalah yang harus diselesaikan saat ini.” perintah Gibran tanpa menoleh.
Elena memicingkan mata, protes dengan kata ‘masalah’ yang dituturkan Gibran. Baginya, Gibranlah masalah itu sendiri.
Viktor menghela napas, “Aku hanya tak mau melihat kalian saling bunuh. Tempat ini akan jadi berhantu.”
“Tutup mulutmu dan keluarlah, Viktor!” Kali ini Elena yang bicara, lagi-lagi tanpa menoleh.
Viktor menyaksikan adu mental kedua peneliti itu lewat tatapan mata mereka yang secara tidak langsung membuatnya merasa tersingkir. Peduli setan dengan kalian! Dia menggeleng sesaat kemudian berbalik. Pintu ruang rapat pun tertutup dengan senyap yang datang mencekam.
“Kita harus bicara,” Gibran memulai percakapan dengan dingin.
Elena tersenyum sinis, “Apa pentingnya itu?”
“Sangat penting sampai kau harus mendengarkan.”
Elena mendadak duduk tegap dengan wajah condong ke depan, “Nein!” Telunjuknya mengarah pada Gibran, “Kau yang harusnya mendengarkan! Jangan pernah sentuh lagi objekku! Jangan pernah turut campur dalam eksperimenku! Hans sedang memantau kita berdua dengan ketat dan aku tak akan sungkan untuk melapor padanya jika sewaktu-waktu kau bertindak gegabah! Objek 827 itu milikku!” Telunjuknya berputar dan mendarat di atas dada, “Kau tak punya hak apa pun atas dia!”
“Kau pikir aku akan mendengarkanmu? Impian tolol macam apa itu?” Gibran merentangkan kedua tangan dengan telapak mengarah ke atas.
“Peneliti idiot macam kau memang tidak bisa mendengarkan siapa pun! Tak heran kau termakan ego sendiri dan menjadi lemah di hadapan objekmu, meratap dan bersedih untuk wanita sekarat itu hanya karena kenangan masa lalu. Sungguh tidak profesional! Tempatmu benar-benar bukan di sini!”
“Dan peneliti macam apa yang tidak bisa mengais data dari objeknya, bahkan hanya melalui wawancara sederhana?”
Gantian Gibran yang menohok Elena hingga wanita itu terdiam. Rahangnya mengencang di balik wajah cantik nan ganas.
“Pembicaraan kita sudah cukup! Terlalu banyak basa-basi!”
“Mengaku saja kalau kau hampir kalah argumen denganku! Karena tindakanmu yang semena-mena, Emily mengalami over dosis dan nyaris mati!”
Elena mencibir, “Dia yang membuat dirinya celaka dengan menenggak obat tidur berlebihan! Lagi pula, dia akan tetap mati juga!”
Gibran mendesis seraya menggeleng kepalanya pelan, “Kau sungguh tidak punya hati!”
“Dan karena itulah aku selalu menang darimu!” pungkas Elena sambil berdiri.
Melihat gelagat Elena yang hendak meninggalkan ruang rapat, Gibran melonjak dari kursi dan langsung lari menuju pintu untuk menghalanginya. Elena mendelik. Langkahnya surut di depan pintu.
“Minggir!” ucap Elena dengan tatap nyalang.
“Tidak sebelum kau katakan apa rencanamu selanjutnya pada Emily!”
Mendadak Elena terbahak. Suaranya membahana di ruangan itu.
“Idiot!” sahutnya setelah puas tertawa, “Kau pikir aku akan bilang padamu? Kau sungguh-sungguh patut dikasihani, Gibran!”
Kedua tangan Elena mendorong tubuh Gibran ke samping dengan kasar. Dia lalu membuka pintu dan pergi dari tempat itu. Gibran menghela napas. Pikirannya tidak karuan. Dia sendiri bingung dengan apa yang dia perbuat barusan. Tiba-tiba saja dia setuju dengan perkataan Elena bahwa dia peneliti yang payah dan memang patut untuk dikasihani.
***
Viktor mengundur waktu pulang malam itu karena khawatir dengan kondisi Gibran yang uring-uringan. Semenjak keluar dari ruang rapat, Gibran terlihat sulit fokus dan sering melamun. Hobi gila kerjanya mendadak musnah. Saking mengkhawatirkannya, Viktor sampai menyuruh Gibran untuk izin pulang dengan berpura-pura sakit, hanya agar pria itu bisa menenangkan diri di apartemennya. Perintah Viktor tidak dituruti Gibran. Dia malah berdiam dalam kantor, duduk di depan laptop yang terbuka selama berjam-jam.
Bersandar pada kusen pintu, Viktor menatap Gibran dengan iba. Sudah beberapa menit berlalu semenjak dia tiba di ruangan itu, namun, Gibran seakan tak peduli. Tak tahan dengan perilaku tersebut, Viktor pun berdeham, menyatakan eksistensinya dalam ruangan. Dia menegakkan punggung dan berjalan menuju meja kerja Gibran.
“Kelihatannya kau harus menemui psikolog. Kau sama depresinya dengan Emily.”
“Aku baik-baik saja.”
“Kau tidak baik-baik saja.”
Tangan Viktor memutar laptop Gibran hingga mengarah kepadanya. Gibran tidak protes. Viktor membaca sekilas tulisan Gibran yang terpampang di layar benda itu. Alisnya mengernyit seketika.
“Apa ini?”
Jari Viktor langsung bekerja memutar tombol mouse dengan mata yang membaca detail demi detail tulisan Gibran. Gibran tidak menjawab pertanyaan Viktor. Dia membiarkan pria itu mencari tahu sendiri jawabannya.
“Astaga, Gibran,” Viktor tercenung, “Kau menemukan hipotesis baru! Ini sebuah proposal penelitian!” Matanya bergerak ke arah Gibran, “Kenapa kau tidak pernah mempublikasikannya? Hans harusnya tahu ini.”
Gibran mendengus pelan, “Hans telanjur mengamuk soal manipulasi data dan hubunganku dengan Emily.” ucap Gibran lesu.
“Oh,” Viktor berdeham lalu berpaling ke arah lain, “Aku paham.” Dia mengembalikan laptop ke posisi semula, “Ngomong-ngomong, apa kau tidak mau pulang?”
Gibran menatap kosong. Dia diam.
“Jika kau mengkhawatirkan Emily, bukan begini caranya!” Viktor memberi penekanan pada suaranya.
Gibran tetap bungkam, enggan menyergah.
“Elena tidak akan teledor lagi dan terlalu memaksa, Gibran. Dia sedang berada dalam pengawasan Hans.”
“Begitu juga aku…”
“Tepat sekali! Kalau boleh jujur, aku sungguh gemas dengan kalian berdua yang sok bertahan dengan kesombongan masing-masing hingga akhirnya terjerumus sendiri ke dalam masalah. Haaaaah, jalan pikiran kalian pasti sungguh rumit, seperti benang kusut! Pantas saja sifat kalian berdua tak ada sisi humorisnya sama sekali!”
Viktor berceramah panjang lebar, memuntahkan semua komentar yang selama ini ditahannya. Gibran pura-pura tak peduli meskipun telinganya mendengar.
“Aku mau pulang saja. Hari ini cukup melelahkan. Menungguimu di sini juga percuma. Tak ada untungnya.”