Akhir November tahun 2023; Kamar Emily, Pusat Penelitian Penyakit Otak, Göttingen, Jerman
Gibran tiba di pintu kamar Emily yang terbuka. Dia mengintip ke dalam, pada sosok Emily yang tengah berdiri di depan jendela. Kaki Gibran melangkah masuk, membawanya jengkal demi jengkal menuju Emily sembari matanya memperhatikan sekeliling.
Kamar itu rapi dan bersih. Aroma vanila menyeruak lewat lilin aromaterapi yang dipasang perawat. Hampir tiga minggu sudah Emily berada dalam asuhan Gibran. Elena memberinya hak istimewa untuk bebas menemui Emily, terutama di saat proposal penelitian mereka telah diterima. Gibran akan menjadi asisten Elena, sesuai kesepakatan semula, dengan semua hasil penelitian yang di atas namakan wanita itu. Gibran tidak keberatan dengan hal tersebut karena baginya, bersua dengan Emily adalah di atas segalanya.
Kondisi Emily pulih sedikit demi sedikit. Dia tak lagi sering mengamuk serta mau bekerja sama. Pengawasannya mulai longgar seperti sediakala. Walau demikian, insomnia Emily tak kunjung membaik. Dia masih tak bisa tidur, kecuali dengan dosis obat yang sedikit dinaikkan. Itu pun hanya menunjang untuk tidur beberapa saat, tidak sampai sejam.
Gibran sampai di belakang Emily, “What are you doing?”
Emily tersenyum tipis kala mendengar suaranya, kemudian menjawab pertanyaan itu dengan mata yang terus tertuju ke luar jendela.
“I am saying good bye[1].”
“To whom[2]?”
“Leaves[3].”
Gibran bergerak mendekati jendela dan ikut memandang ke luar. Jauh di bawah sana, terdapat taman belakang yang biasa mereka datangi. Pepohonan dan kursi-kursi putihnya terlihat begitu kecil, dengan lantai tanah yang didominasi warna kuning akibat tertutup dedaunan mati.
“Sebentar lagi musim dingin,” tutur Emily, “Aku tak akan bertemu mereka lagi saat salju turun.”
“Kau akan melihat mereka saat musim semi,” potong Gibran, “Daun-daun yang mati itu akan menjadi humus pada tanah, kemudian mereka diserap pohon sebagai nutrisi dan akhirnya muncul lagi dalam bentuk tunas baru.”
“Kesimpulan yang salah,” Emily tersenyum getir, “Jika seperti itu, maka tak ada kematian bagi manusia. Setiap yang dikubur akan bersatu dengan bumi, lalu bangkit kembali dalam tubuh lain melalui serangkaian proses rumit dan panjang. Mungkin dia tidak ingat siapa dirinya akibat komponen tubuh yang berasal dari sumber-sumber berbeda. Sebut saja itu reinkarnasi, tapi, kau tetap tidak akan menerimanya, bukan?”
Gibran terdiam.
“Semua yang mati kembali pada Tuhan. Itu kepercayaan kalian. Mati sendiri masih jadi misteri bagiku, tapi aku tak terlalu peduli.” Emily menghela napas. Dia menunduk, “Harusnya dulu aku lebih sabar…”
Gibran meliriknya dengan alis mengernyit, “Apa maksudmu?”
“Kita masih terlalu muda. Ego kita masih tinggi. Jika saja aku mau menahan diri lebih lama, mungkin,”
“Emily, kau tidak bisa membalikkan waktu.” Gibran menyergah cepat.
“I know,” gumam Emily.
“Tapi jika kau tertarik mengenang masa lalu, kau bisa melihat apa yang aku bawa!” timpal Gibran dengan ceria.
Pandangan Emily beralih pada tangan Gibran yang sedang memegang mangkuk kecil. Dia tiba-tiba mendelik.