Akhir Desember, musim dingin tahun 2013; Apartemen Emily, London, Inggris
Gibran berdiri di ambang pintu Emily. Sesaat dia diam lalu menoleh ke belakang. Emily ada di sana, menatapnya dengan sendu. Tak ada air mata atau tangisan. Sedari dulu mereka juga sudah paham bahwa hari ini akan tiba.
Gibran mengucap kata perpisahan dengan singkat dan lugas, berbanding terbalik dengan hunjaman perih dalam dadanya. Namun, apalah cinta tanpa logika. Hubungan mereka memang tanpa masa depan dan Gibran telah memutuskan.
Emily menerima semua dalam kebungkaman, menahan diri dari gugatan. Hatinya membeku, sebeku musim dingin saat itu. Ditelannya rasa kecewa dalam-dalam. Ketidaksengajaan yang pahit… Baik pertemuan maupun perpisahan mereka, ternyata harus dibalut oleh rasa pahit.
Mata Gibran yang sayu terus menatap Emily hingga akhirnya dia siap untuk pergi. Kepalanya menghadap ke depan, pada pintu yang terbuka bak tengah menyuruhnya pulang. Gibran tersenyum getir lalu melangkah pelan. Dia tak pernah berbalik lagi karena tahu bahwasanya memang tak ada jalan untuk kembali. Jerman telah menunggunya, untuk sebuah kehidupan baru. Di luar apartemen, salju terus berjatuhan dari langit, memberi kenangan yang dingin dan menyakitkan.