Sweet Dream, Emily

Dania Oryzana
Chapter #24

And We Don"t Say Goodbye

Musim dingin, bulan Desember tahun 2023; Berbagai tempat di kota Göttingen, Jerman

Penelitian Elena dan Gibran baru memasuki minggu kedua tatkala Emily ambruk akibat fisik yang semakin lemah. Dia pingsan di laboratorium dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Gibran yang cemas hanya bisa menjenguknya sesekali karena tak bisa meninggalkan pekerjaan. Saat tidak bertugas malam, Gibran menjaga Emily, bergantian dengan Nyonya Martha.

Beberapa hari tinggal di rumah sakit tidak membuat keadaan Emily membaik. Tubuhnya justru menunjukkan gejala FFI yang makin parah. Tekanan darah yang tinggi pada waktu-waktu menjelang tidur membuat Emily tak bisa memejamkan mata sama sekali. Dosis obat tidurnya pun ditambah yang ternyata hanya mampu membuatnya tidur tidak lebih dari setengah jam.

Konstipasi yang parah serta tubuh yang sering berkeringat membuat Emily makin gelisah. Pupilnya mulai mengecil. Ritme otak yang telanjur kacau pada akhirnya membuat Emily sering berhalusinasi dan merasa bingung. Sesekali, ketika tidak kuat lagi menyaksikan penderitaan putrinya, Nyonya Martha pergi meninggalkan Emily lalu bersembunyi di kamar mandi hanya untuk menangis. Wanita itu merasa sebagai orang paling rapuh di dunia meskipun sebenarnya, secara diam-diam, Gibran pun merasakan pilu yang sama.

Hampir seminggu Emily berada di rumah sakit dan dia akhirnya bisa sukses tidur selama empat jam. Itu pun setelah ditemani Gibran semalaman. Esoknya, dalam kondisi sadar penuh, Emily meminta pulang ke Pusat Penelitian. Meski pihak rumah sakit sudah menyarankan untuk tetap tinggal, tapi Emily bersikukuh. Dia akhirnya dijemput Vanda dan seorang sopir menjelang tengah hari.

Gibran mengetahui kedatangan Emily dari Ludwig yang kebetulan sedang memantau kondisi para objek di kamar-kamar mereka. Dia cukup terkejut dengan berita itu lantas langsung bergegas ke kamar Emily saat waktu istirahat tiba.

Emily sedang duduk di atas tempat tidur sambil membaca buku kala Gibran muncul di pintu kamarnya dengan wajah gusar. Dia menoleh sejenak pada pria itu lalu tersenyum tipis.

Look at you[1],” Emily menutup buku dan meletakkannya di dekat bantal, “Tak pernah bisa menyembunyikan apa yang dirasakan hati. Apa semua orang Indonesia selalu seekspresif itu?”

Gibran berjalan mendekat, “Kami justru terlalu sering menutupi perasaan, tidak jujur pada orang lain mengenai apa yang kami rasakan dan lebih banyak berbicara di belakang atau menyampaikannya lewat sindiran. Aku belajar darimu untuk selalu terbuka dan inilah aku saat ini,” Gibran berhenti di tepi tempat tidur, “Aku tidak suka dengan keputusanmu ini. Demi Tuhan, Emily, apa yang sedang kau lakukan?”

Emily menarik napas, menahan senyumnya agar tetap tersungging rapi di wajah.

I’m dying, Gibran. You know that[2].” Matanya mulai berkaca-kaca, “Aku harus kembali ke tempat ini untuk memberikan pengorbanan terakhir pada ilmu pengetahuan. Tidak banyak yang bisa aku beri karena waktuku semakin sempit. Aku tak ingin berada di rumah sakit,” Emily menggeleng pelan dengan senyum yang masih melekat serta mata cekung yang menatap Gibran lembut, “Itu bukan tempat yang menyenangkan untuk mati.”

Gibran terenyuh. Lagi-lagi Emily menariknya hanyut dalam lautan rasa. Tanpa sadar dia beringsut duduk menghadap Emily dengan tangan yang bergerak menggenggam jemari kurus wanita itu.

Don’t say anything[3],” Emily buru-buru membungkam Gibran sebelum dia sempat berbicara, “I want you to hear this[4].

Gibran mengangguk pelan dan tersenyum menahan pilu. Apa pun yang akan Emily utarakan, dia siap untuk mendengar.

“Pada waktu aku hendak bunuh diri, aku tak memikirkan apa pun selain mati. Aku telah begitu egois, baik kepadamu maupun diriku sendiri. Jika aku sampai melakukannya, aku benar-benar tidak memberi diriku kesempatan untuk berbuat baik.”

Jemari Gibran meremas lembut tangan Emily. Tatapannya masih tertuju lurus pada wajah pucat itu.

“Kau tahu apa yang membatalkan niat burukku itu, bukan? Sebuah bayangan kematian yang mengerikan. Begitu buruknya hingga aku jadi takut dan urung untuk bunuh diri. Aku tersadar jika aku mati dengan cara itu, aku tak akan meninggalkan apa-apa selain kenangan pahit dan aku tidak mau dikenang dengan cara seperti itu.”

Rahang Gibran mengencang. Ingatannya terbawa pada masa di mana Emily tengah dipulihkan dari hipotermia.

Emily menarik napas panjang lalu tersenyum kembali, “Gibran, I have forgave you[5].

Ucapan Emily yang lembut mendadak terasa bagai angin segar yang menerpa Gibran, mengangkat rasa bersalah yang selama ini bersemayam di pundaknya. Hati Gibran menjadi tenang. Sukmanya lega luar biasa.

Ketulusan yang terpancar dari mata biru Emily mematahkan keraguan Gibran akan sebuah gurauan. Emily tidak sedang mengajaknya bercanda. Wanita itu memang telah memaafkannya. Saking terkejutnya, Gibran sampai tak mampu berkata apa-apa. Dia hanya menatap Emily, mengungkapkan rasa terima kasih lewat tatapan mata.

Now is your turn[6],” lanjut Emily dengan kelembutan nada suara yang masih sama, “Forgive yourself, forgive for you have done. Loves someone and be loved[7].

Kening Gibran mendadak mengerut. Emily langsung mengantisipasi hal tersebut dengan memajukan badan serta menyentuh pipi Gibran dengan sebelah tangan. Wajah keduanya cukup dekat untuk saling beradu mata. Lagi-lagi Gibran hanya bertanya lewat tatapan dan Emily memahaminya.

“Jika dosa itu memang benar adanya, maka mungkin dosa terbesarku padamu adalah membuatmu hidup sendirian selamanya. Kau percaya akan dosa, Gibran, maka jangan biarkan aku menanggungnya sampai di lubang kematian. Release it[8] Seiring dengan kepergianku nanti, maafkanlah dirimu sendiri dan berbahagialah dengan seseorang. You deserve for it[9].

“Emily,”

I beg you[10]

Mata Emily mulai basah lagi, namun, kali ini, luapan air mata itu urung berhenti hingga menumpuk di pelupuk dan akhirnya jatuh merembesi pipi. Mata kanannya lebih dulu menjatuhkan air mata, pertanda rasa bahagia. Melihat hal itu, Gibran tak sanggup menolak.

“Aku akan belajar untuk memaafkan dan mencintai.” ucapnya lirih.

Emily tersenyum tipis seraya mengangguk, “Harus.” Dia melepas tangannya dari pipi Gibran dan bersandar lagi pada tumpukan bantal, “Datanglah kemari usai makan malam.”

Gibran mendelik, “Ada apa?”

You’ll see[11].

***

Pukul 08.01 pm. Gibran tiba di pintu kamar Emily tanpa jas lab, menyisakan celana panjang hitam, kemeja lengan panjang serta kaus tebal di baliknya. Tangan kanannya menenteng tas dengan jaket tebal berwarna gelap yang tersampir di lengan kiri. Emily masih duduk di tempat tidur sambil menatap ke jendela, tidak menyadari kedatangannya yang memang tanpa suara.

Guten Abend,” Gibran menyapa sambil memasuki kamar.

Emily menoleh cepat dan tersenyum simpul. Gibran meletakkan semua bawaannya pada kursi kosong di sudut ruang, kemudian dia berjalan mendekati Emily.

Help me[12],” Emily membuka selimut tebal yang menutupi tubuh bagian bawahnya, lantas menggerakkan kaki keluar dari ranjang.

Lihat selengkapnya