Pagi di Jalan Mawar No. 17 tidak seperti pagi lain di kota ini. Ia wangi. Bukan wangi embun atau tanah basah seperti di film-film lama, tapi wangi butter, gula karamel, dan adonan kue yang sedang mekar di dalam oven. Wangi yang bisa memeluk dari kejauhan.
Aluna berdiri di depan pintu kaca tokonya yang baru selesai direnovasi seminggu lalu. Namanya tertulis dengan cat emas mengilap: “Flour Philosophy – Artisan Pastry & Coffee.” Ia menarik napas dalam-dalam, seolah bau mentega bisa menenangkan gugupnya. Tangannya yang kecil masih memegang daftar inventaris dan nota yang belum sempat disusun.
Gadis 26 tahun itu mengenakan apron krem polos, rambutnya dikuncir rendah, dan ada noda tepung di pipi kirinya—tanpa sadar tertinggal saat ia menata susunan croissant. Ia tak terlalu memperhatikan penampilan, tapi selalu memastikan segalanya bersih, presisi, dan... jujur. Ia percaya makanan, seperti cinta, harus dibuat dengan hati yang bersih.
Toko mungil itu memadukan nuansa Skandinavia minimalis dengan warna pastel. Sudut ruang didekorasi dengan tanaman gantung dan rak buku berisi buku-buku tentang kuliner dan filsafat. Sebuah kutipan besar tertulis di dinding putih:
“Cooking is not just technique. It is a quiet kind of prayer.”
Tapi hari itu, ketenangannya dikoyak.
Dari balik dinding samping toko, terdengar bunyi mesin—zzzzzt!—tajam, menusuk, dan berulang. Seperti suara gergaji memotong tulang. Aluna menoleh. Dinding itu dulunya kosong, tapi sekarang sudah dibuka menjadi jalur akses dua toko. Di balik sana, ada seseorang. Atau sesuatu.
Studio tato.
Studio bernama "INKDUST" itu kontras dengan tokonya—gelap, maskulin, dan berbau antiseptik serta parfum tembakau. Pintu besi hitamnya dibiarkan setengah terbuka. Di balik meja resepsionis dari kayu tua, seorang pria duduk menunduk, menggambar di atas kulit sintetis.