Aluna tidak menyangka bahwa membuka toko kue bisa membuatnya merasa seperti hidup di medan perang.
Bukan karena pelanggan yang rewel.
Bukan karena oven yang mendadak ngadat.
Tapi karena… dinding sebelah. Lebih tepatnya, pria tinggi dingin dengan sepatu hitam penuh aura misterius yang kemarin menginjak cupcake-nya tanpa rasa bersalah.
“Dia kayak suara background dari neraka,” keluh Aluna sambil memeriksa loyang.
“Dia atau mesin tatonya?” tanya Elanda, tanpa menoleh dari kasir.
“Dua-duanya.”
Di luar, jalanan sudah mulai ramai. Beberapa pelanggan mulai masuk, sebagian besar tertarik pada jendela etalase yang berisi croissant keju, tart lemon, dan cupcake baru dengan swirl warna ungu muda.
Swirl-nya sempurna. Ia menamainya Clara.
“Luna,” bisik Elanda tiba-tiba. “Ada yang salah masuk.”
Aluna menoleh.
Seorang cowok berjaket kulit tampak masuk, lalu berhenti mendadak sambil menatap etalase kue dengan ekspresi bingung.
“Hei, Bro,” katanya. “Mau nanya… lo bisa nambahin tattoo mawar kayak gini?” Ia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto tato kecil di punggung perempuan.
Aluna dan Elanda saling pandang.
“Kamu... tahu ini toko kue, kan?” kata Aluna, setengah geli, setengah kesal.
Cowok itu melirik ke dinding. “Oh, damn. Bener juga. Salah pintu.” Ia nyengir dan buru-buru keluar sambil menambahkan, “Tapi cupcakenya lucu sih. Nanti gue balik lagi!”
Begitu pintu menutup, Aluna menghela napas.
“Lima kali minggu ini,” gumamnya.
Elanda mengangguk. “Kita butuh penanda. Atau, kamu harus pakai tato supaya orang berhenti bingung.”