Suara denting sendok dan garpu terdengar bersahut-sahutan di dalam ruang makan mewah milik Avery. Di atas meja tertata banyak makanan lezat yang telah disiapkan oleh para maid yang bekerja di kediaman mewah itu. Namun terdapat sedikit pengecualian untuk makanan milik Michiel, karena makanan itu dimasak oleh Avery sendiri.
“Makananmu lezat, aku suka.” Suara Michiel yang ringan memecah suasana hening yang sebelumnya tercipta diantara keduanya. Avery melirik pria itu sekilas dan kembali melanjutkan kegiatan makannya yang sempat tertunda karena harus melirik pria itu.
“Masakanmu mengingatkanku pada ibuku yang sudah meninggal.” ucap Michiel lagi. Avery menghela napas pelan tanpa menghiraukan ucapan Michiel. Ia tahu jika saat ini Michiel sedang berusaha mengajaknya untuk berbicara. Tapi ia sedang tidak mood untuk berbicara dengan pria itu. Apalagi itu menyangkut mendiang ibunya yang telah meninggal tujuh tahun lalu.
“Kau belajar dengan baik untuk menduplikatnya. Apa kau masih mengingat rasa masakannya sampai sekarang?”
Tak
Avery membanting sendoknya kasar dan menatap Michiel tajam. Ia kesal karena pria itu sejak tadi terus mengajaknya berbicara padahal ia sedang tidak ingin berbicara dengan pria itu. Terlebih lagi jika membicarakan masa lalu yang sudah lama ia kubur rapat-rapat di dalam hatinya. Menyebalkan! Apa yang sebenarnya ia inginkan?!
“Kenapa kau sejak tadi terus berbicara? Makan saja makananmu dan diam.”
“Aku hanya ingin bertanya. Kupikir kau masih mengingat saat pertama kali ibuku mengajakmu makan siang di rumahku delapan tahun lalu. Rasa masakanmu sama seperti masakan ibuku, dan aku menyukainya.”
Pria itu memang kepala batu!
“Aku sudah lupa. Aku hanya asal memasukan bahan-bahan ke dalam masakan itu. Seharusnya aku memasukan racun ke dalam makananmu agar kau mati dan tidak terus menerus menggangguku.”
“Hmm.. kau tidak mungkin melakukannya padaku.” balas Michiel dengan senyum manis yang membuat Avery muak. Pria itu akhirnya memilih diam dan melanjutkan sisa makanannya yang tinggal separuh. Sejak dulu ia memang sangat suka mengganggu Avery. Lebih tepatnya setelah ia mengetahui jika Avery adalah calon istri kakaknya dua setengah tahun yang lalu.
“Apa kau akan pergi ke Washington? Menyusul Andrew?”
Avery melirik Michiel sekilas dari balik bulu matanya yang lentik. Ia takut pria itu akan mengikutinya jika ia mengatakan pada pria itu jika sore ini akan terbang ke Washington.
“Hari ini aku akan terbang ke Washington, apa kau...”
“Kau mengikutiku?” tuduh Avery sambil menggebrak meja. Wanita itu terlihat sangat kesal setelah mendengar berita dari pria itu jika ia juga akan pergi ke Washington. Memangnya apa yang akan dilakukan oleh pria berandal itu? Mengunjungi kakeknya juga? Sepertinya tidak mungkin!
“Oh, jadi kau benar akan ke Washington sore ini? Menarik, mungkin kita bisa berada di dalam pesawat yang sama dan duduk bersebelahan.” ucap Michiel santai tanpa dosa. Avery lagi-lagi menghela napas berat untuk menanggapi setiap kelakuan ajaib Michiel yang tak terduga ini.
“Tidak mungkin. Aku sudah memesan penerbangan first class sejak minggu lalu, jadi kita tidak mungkin berada di dalam satu pesawat yang sama. Lagipula apa yang akan kau lakukan di Washington? Menjenguk kakek? Huh, memangnya cucu berandal sepertimu diharapkan oleh kakek?” cibir Avery kejam. Michiel menipiskan bibirnya dan hanya menatap Avery datar. Ia tahu jika wanita itu sangat membencinya, tapi ia tidak suka jika Avery menganggapnya sejahat itu pada kakeknya karena kenyataanya ia sangat dekat dengan kakeknya. Hanya saja ia tidak pintar mengungkapkan rasa sayangnya sama seperti Andrew.
“Aku memiliki pekerjaan di Washington. Jadi kupikir aku bisa sekalian menjenguk kakek dan bertemu Andrew.”
“Huh, kuharap kau tidak mengacaukan hidupku selama di Washington karena aku ingin menghabiskan waktu liburku untuk bersenang-senang dengan Andrew. Aku harus mulai menjalankan program bayiku.”
Michiel terdiam cukup lama untuk mencerna setiap kalimat yang diucapkan Avery. “Kau model... kau akan berubah gendut jika mengandung.” komentar Michiel datar. Avery menaikan alis matanya tidak mengerti dengan komentar Michiel yang terdengar datar dan sakarstik itu.
“Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku akan vakum dari dunia model dan menjadi ibu rumah tangga untuk membesarkan anak-anakku. Lagipula Andrew sudah bekerja, untuk apa aku juga ikut bekerja. Hartanya tidak akan habis jika aku menghabiskannya bersama anak-anakku.” komentar Avery ringan tanpa memperhatikan perubahan raut wajah Michiel yang terlihat mendung.
“Tapi kontrakmu masih berlaku untuk tahun depan.”
“Apa kau akan mempersulit proses resignku, Michiel? Aku adalah kakak iparmu, seharusnya kau senang jika aku akan memberimu keponakan lucu. Kenapa kau terlihat sangat tidak senang seperti itu?” balas Avery kesal. Sungguh ia tidak mengerti jalan pikiran pria itu. Seharusnya ia senang karena akhirnya ia memiliki kejelasan untuk hubungannya dengan kakaknya yang sejak dulu berjalan datar tanpa gairah. Ia sudah memikirkan matang-matang untuk itu, bahkan ia sudah memikirkannya sejak satu bulan yang lalu dengan banyak pertimbangan dari rekan-rekan kerjanya.
“Aku hanya membicarakan profesionalitasmu sebagai model, Avery Sherlon.” ucap Michiel lambat-lambat dengan tatapan tajam. “Dan ini bukan masalah senang dan tidak senang. Di kontrak sudah tertera dengan jelas jika kau mengakhiri kontrak sebelum masa berlakunya selesai, kau akan mendapatkan denda yang sangat besar karena akan membuat perusahaanku rugi.”
Avery mendengus kesal. Kenapa adik iparnya itu tidak pernah membiarkan hidupnya mudah? “Pasti Andrew akan membayar dendanya. Kau ini memang adik ipar yang kejam.”
“Kau jauh lebih kejam, Avery. Kau adalah wanita paling kejam yang pernah kukenal.”
Avery melongo tidak percaya dengan balasan dari Michiel yang bernada dingin itu. Padahal seumur hidupnya ia tidak pernah melakukan apapun pada pria itu. Justru pria itu yang sering mengganggu hidupnya dan merusak hidupnya. Lalu dengan seenaknya pria itu mengatakan jika ia adalah wanita yang paling kejam. Hell! Ia tidak terima!
“Kau bilang apa? Aku kejam? Huh, yang benar saja. Hey Michiel Thompson! Aku belum selesai bicara!” teriak Avery ketika Michiel justru meninggalkannya begitu saja dengan teriakannya yang sangat lantang.
Sambil memijit pelipisnya yang pening, Avery mendorong piringnya menjauh yang masih menyisakan setengah dari sarapannya yang belum habis. Berdebat dengan Michiel membuatnya malas untuk melanjutkan sisa sarapannya. Ia pun memilih untuk bersiap karena ia tidak ingin ketinggalan pesawatnya sore ini.
Andrew sayang! Tunggu aku.
-00-
Avery mengerucutkan bibirnya sebal sambil menatap pemandangan membosankan yang tersaji di luar jendela pesawatnya. Awan sore yang kelabu terlihat sama seperti suasana hatinya yang sekarang juga kelabu. Ia merasa menyesal telah mengambil penerbangan first class ini tanpa memikirkan risiko apa yang akan terjadi padanya selama perjalanan berlangsung.
“Ave, kau mau memesan sesuatu?”
Michiel bertanya disampingnya sambil membolak-balik buku menu yang digengganggamnya. Sore ini pria itu tiba-tiba muncul di sebelahnya dengan senyum tanpa dosanya yang menyebalkan. Padahal masih teringat jelas diingatannya bagaimana pria itu marah sebelum pergi meninggalkan mansionnya. Namun tiba-tiba saja pria itu sudah muncul di sebelahnya dan seolah sudah lupa dengan pertengkaran kecil mereka pagi tadi.
“Aku mau wine. Aku ingin mabuk dan tertidur agar tidak perlu melihat wajahmu.”
“Wine tidak bagus diminum saat perjalanan jauh. Lebih baik kau minum susu hangat dan makan beberapa keping biskuit.”
“Kau pikir aku bayi!” sembur Avery kesal. Namun Michiel tetap memesankan menu itu untuk Avery ketika seorang pramugari lewat untuk mencatat pesanan Michiel.
“Kenapa kau bisa berada di sini? Kau pasti mengikutiku.” tuduh Avery entah yang sudah ke berapa kali. Sejak pria itu mendudukan diri di sebelahnya pun, Avery sudah melontarkan kalimat tuduhan itu berulang kali hingga Michiel rasanya bosan mendengarnya.
“Aku tidak tahu, asistenku yang memesankannya. Lagipula aku tidak tahu jika kau juga menggunakan pesawat ini.” jawab Michiel ringan. Tak berapa lama seorang pramugari datang untuk menyerahkan pesanan Michiel sambil tersenyum manis pada Michiel yang juga dibalas oleh Michiel dengan senyum manis andalannya.
“Dasar player!”
Michiel memberikan senyumannya cukup lama hingga pramugari itu menghilang dari lorong kabin pesawat milik mereka.
“Apa kau cemburu? Kau bisa mendapatkan senyumku sepuas yang kau mau, aku akan memberikannya cuma-cuma.”