Sweet Misfortune

Mizan Publishing
Chapter #2

Kau memiliki kenangan indah, yang dibebani oleh kenangan buruk

21 September 1989

Jacob Barnes mengusap wajahnya dengan lengan mantel, dengan sia-sia berusaha menghilangkan rasa pening dari kedua matanya. Dia merasa seperti akan pingsan kapan saja. Benaknya berpacu untuk menghubungkan potongan-potongan detail yang didapatnya selama lima belas menit terakhir, tapi dia masih terlalu linglung untuk mengingat secara pasti bagaimana dirinya bisa berada di posisinya yang sekarang di pinggir jalan ini. Setelah menyeimbangkan tubuhnya pada sebuah lampu jalan, Jacob menarik dasi sutranya dengan marah, yang tiba-tiba terasa bagaikan sebuah kekang pada lehernya. Bagian depan setelan jas Italia yang dipakainya basah kuyup, tapi dia pikir itu hanya akibat berdiri linglung di bawah guyuran hujan Seattle yang terkenal akan cuacanya yang basah.

“Ya Tuhan,” Jacob berkata keras-keras setelah pikirannya cukup jernih untuk terpusat pada dunia yang ada di sekelilingnya. Jacob memicingkan matanya erat-erat untuk menajamkan pandangan saat mengamati sekelilingnya. Dia tidak dikenal sebagai orang yang sanggup melihat sesuatu yang mengerikan tanpa merasa mual, jadi apa yang dilihat di hadapannya, ditambah dengan ingatan buram mengenai kejadian tersebut, membuat Jacob merasa ingin muntah. Dia berjuang keras melawan desakan itu.

“Semua itu salahku,” sebuah suara kecil yang ketakutan berbisik di dekatnya.

Mata Jacob yang melebar menatap sekeliling, mencari sang pemilik suara. Beberapa langkah dari sana, duduk sendirian di trotoar dekat sebuah hidran kebakaran berwarna kuning, ada seorang gadis kecil. Gadis itu juga mengusap wajah dengan lengan bajunya, tapi hanya untuk menyembunyikan bukti bahwa dirinya sedang menangis. Namun itu tidak penting; saat itu hujan turun cukup deras sehingga gadis itu bisa terus-menerus mengusapnya dan wajahnya akan tetap basah. Hidung dan bibir gadis itu memar dan bengkak, dan sebuah sayatan pada pipinya menyebabkan setetes kecil cairan merah menuruni rahangnya hingga ke leher. Blus putih yang dipakainya juga dihiasi percikan noda berwarna merah.

Gadis itu memeluk kaki dengan kedua lengannya untuk melindunginya dari hujan dan angin bulan September yang luar biasa dingin. “Aku … aku hanya menginginkan sesepotong cokelat,” isaknya. “Hanya sa-satu potong.”

Jacob merasa limbung. Dia menggeser posisinya pada tiang lampu, berharap hal itu akan mencegahnya pingsan lagi. “Menurutmu kau yang menyebabkan semua ini?” Jacob bertanya dengan suara yang lebih kasar dari yang diinginkannya. “Apa hubungannya cokelat dengan semua ini?”

Gadis itu menjawab pertanyaan pertama Jacob dengan sebuah anggukan kepala, lalu dia mulai mengayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang, mengamati kehebohan yang terjadi di jalan dengan saksama.

Jacob mengikuti arah pandangannya—dengungan sirene yang terus terdengar, cahaya yang berkilat dan mengedip, suar menyala dengan cahaya merah cemerlang, petugas polisi berlarian ke sana kemari seraya berusaha mengarahkan lalu lintas, para pemadam kebakaran meneriakkan berbagai perintah, para sopir ambulans, kaca pecah, logam bengkok, dan darah—begitu banyak darah. Pemandangan dan suara, bahkan bau dan rasa peristiwa yang mengerikan ini, memenuhi indranya hingga kewalahan. Gadis itu berbalik lagi menatap Jacob, tapi tetap tidak mengatakan apa-apa.

Tepat pada saat itu ada seorang polisi wanita dan seorang TMD—Teknisi Medis Darurat—berwajah muda yang berlari menghampiri. Terpikir oleh Jacob bahwa dirinya dan gadis kecil itu berada cukup jauh dari kecelakaan sehingga mungkin awalnya mereka disangka sebagai orang yang sedang menonton oleh gelombang pertama personel tim darurat yang tiba lebih awal.

“Sir,” si TMD berkata pada Jacob, wajahnya terlihat sangat cemas, “biarkan aku membantumu duduk.”

Pria itu cepat-cepat menurunkan kotak pertolongan pertamanya ke atas tanah, lalu melingkarkan lengan raksasa pada pinggang Jacob dan membantunya duduk di trotoar. “Bisakah kau melakukan sesuatu untukku? Angkat tangan kirimu ke atas kepala dan tahan di sana, sementara aku mengambilkan perban untukmu. Bisa kah kau melakukannya untukku?”

Jacob merasa lebih kebingungan dengan permintaan aneh si TMD daripada pengakuan si gadis kecil yang menyalahkan cokelat atas kecelakaan ini. “Kenapa? Aku baik-baik saja. Apa kau tak menyadarinya? Tolong anak itu—kelihatannya dia sedikit terluka.”

“Sir, apa kau—”

“Namaku Jacob.”

“Baiklah. Jacob, kau mengalami syok. Kurasa kau sudah kehilangan banyak darah, dan aku ingin memastikan agar tidak kehilangan—”

“Darah? Dari mana? Kenapa aku berdarah?”

“Jangan takut. Kalau kau mengikuti arahanku, kau akan baik-baik saja. Angkat saja tanganmu seperti ini.” TMD itu mengangkat lengan kiri Jacob. Jacob menggunakan tangannya yang lain untuk menopangnya saat pria itu melepasnya.

Gejolak rasa mual mengaliri tubuh Jacob lagi. “Apakah darahnya berasal dari kepalaku? Wajahku?” Suaranya terdengar lebih cepat saat dia mulai merasa panik. “Bagaimana mungkin mengangkat tanganku bisa membantu hal itu? Bukankah hanya akan membuat darah mengalir semakin deras menuruni kepalaku dan menambah kehilangan darah? Apa kau yakin kau tahu apa yang sedang kau lakukan? Apa kau bahkan sudah cukup dewasa untuk menjadi seorang—”

“Jacob!” bentak pria TMD itu, suaranya sedingin es. “Bukan wajahmu. Lihat tanganmu!”

Tanpa sadar Jacob memiringkan kepala. Memicingkan mata menembus hujan yang mengguyur dan cahaya lampu jalan yang buram, untuk pertama kalinya Jacob memusatkan perhatiannya pada tangan yang sedang dipeganginya di atas kepala. Pemandangan yang dilihatnya mengirimkan gelombang mual lain ke dalam perutnya. Keempat jari pada tangan kirinya sudah menghilang, sepenuhnya terputus dari bagian yang berbatasan dengan telapak tangannya. Hanya jempolnya yang masih tersisa. Anehnya, otak Jacob memberitahunya bahwa semua jarinya bergerak, tapi hanya jempolnya yang membalas lambaiannya. “Aku … kurasa aku harus berbaring,” erangnya.

Sementara TMD itu merawat tangan Jacob dan beberapa luka lain yang tidak terlalu parah, Jacob mengalihkan perhatiannya kembali pada si gadis kecil dan polisi wanita. Dari posisi berbaringnya, Jacob bisa melihat dan mendengar semua yang mereka katakan. Petugas polisi wanita itu bernama Ellen, atau setidaknya itulah yang dikatakannya pada gadis kecil itu. Ellen mulai menotol-notol wajah gadis itu dengan lembut menggunakan sebuah gulungan kapas sambil mengobrol ringan. Kemudian dia duduk di trotoar di samping gadis itu. Gadis itu terus-menerus mencuri pandang pada tangan Jacob yang putus.

“Semuanya akan baik-baik saja, Sayang. baik-baik saja.” Ellen terdiam sejenak untuk melihat pembantaian itu, seakan-akan bertanya-tanya mungkinkah sesuatu bisa benar-benar baik-baik saja dalam keadaan seperti ini. “Nah, sekarang bisakah kau memberitahuku namamu?” Ellen bertanya hati-hati.

Bocah itu menatap Ellen dengan tatapan kosong, seakan-akan sedang berusaha mencerna ucapannya.

Kemudian dia menganggukkan kepala dan berbisik pelan, “Sophia Maria Jones.”

“Wow, nama yang indah. Senang bertemu denganmu, Sophia Maria.”

Gadis itu menelan ludah. “Aku biasa dipanggil Sophie.”

“Kalau begitu Sophie saja. Berapa umurmu, Sophie?” Petugas itu pasti sudah dilatih untuk mengajukan pertanyaan sederhana terlebih dulu, dengan tujuan mempersiapkan desakan pertanyaan lebih sulit yang pada akhirnya selalu harus ditanyakan.

Gadis itu mengusap hidung dengan lengan blusnya lagi. “Delapan. Bukan—sembilan.”

“Wow,” jawab sang polisi dengan nada menenang kan, “itu umur yang menyenangkan. Aku ingat saat berumur sembilan tahun. Kapan ulang tahunmu?”

Setetes air mata raksasa terbentuk di sudut mata Sophie bagian dalam dan tumpah ke pipinya. “H-h-hari ini,” jawabnya, tercekat saat mengucapkannya.

“Oh, jadi begitu,” Ellen berkata lembut. “Apa malam ini kau pergi untuk merayakannya?”

Sophie mengangguk.

“Sophie, apa kau berada di dalam salah satu mobil itu?”

Lihat selengkapnya