Sweet Moment

Agus Prianto
Chapter #1

Baby in The Box

“Aku butuh kepastian, Darrell!”

“Aku sudah bilang dari awal, Shintia. Kalau aku tidak akan menikahimu, seumur hidupku!!” sahutnya frustrasi. “Do you not understand with what I'm saying?!”

Perempuan itu semakin menghunus tatapannya. Ada rasa kesal yang membara dalam raganya—terbalut dress tanpa pengait pundak; warna biru muda.

“Kamu yang tidak paham dengan ucapan Daddy saat itu,” balasnya tak kalah ganas. “Jelas-jelas Daddy bilang kalau perjodohan itu resmi dan tidak bisa diganggu gugat, Darrell.”

“I don't care that!” pungkas Darrell sembari memalingkan wajahnya.

Laki-laki itu berjalan ke arah dapur untuk membuat sarapan pagi. Sebab ia baru saja mandi dan akan berangkat kerja.

Namun sayang, seorang perempuan masuk dengan paksa dan langsung memarahinya. Memborbardir telinga lelaki itu, dan memutuskan untu menunda dulu ritual paginya.

“Darrell, we need to have a serious talk. It's about our future and our family's future. You gotta listen to me, Darrell,” cerocos Shintia sembari mengikuti langkah kaki Darrell.

Perempuan itu tidak mau jika pernikahannya dengan Darrell gagal. Karena laki-laki itu telah merebut perhatiannya sejak kali pertama bertemu.

Lekuk tubuh yang proporsional, rahang yang tegas dan persegi, juga bibir yang beranum. Membuat gadis itu tidak rela untuk melepaskan Darrell begitu saja.

“I would do anything if you married me, Darrell.”

Darrell tidak memedulikan perempuan yang mengoceh di samping kanannya. Dia tetap mengoleskan mentega pada lembaran roti yang akan dipanggangnya pagi ini.

“Darrell, apakah kamu bisa mendengar apa yang ku ucapkan saat ini? Atau perlu ku bawa ke dokter guna memeriksa kondisi telingamu?” ujar Shintia sembari mengambil pisau oles yang sedang dipegang Darrell.

Darrell terkesiap, laki-laki itu tentu tidak akan membiarkan Shintia mengambil alih apa yang sedang ia lakukan. Ditangkis tangan itu, kemudian ia sedikit mendorong bahu sang gadis. 

Sejurus kemudian, lelaki itu bergerak ke arah bread toasters dan memasukkan kedua lembar roti yang telah dilumas dengan mentega.

Darrell menghidupkan mesin tersebut dan menunggunya matang sembari berkecak pinggang.

Dia tidak peduli, jika sorot matahari pagi dari jendela dapur membakar tubuhnya yang masih basah akan air tawar. Lelaki itu justru semakin anteng. meski batinnya tidak, karena gendang telinganya risih dengan ocehan Shintia.

Lihat selengkapnya