45 MENIT YANG LALU
Selina baru saja tiba di Bandara San Francisco. Perempuan itu berjalan keluar—bersama laki-laki yang menatapnya iba dari arah samping kanan.
“Mbak yakin kalau laki-laki itu akan menerima bayi ini?” tanyanya lembut, sembari menyalip orang-orang yang menhalangi jalannya.
“Mbak sangat yakin, Dek. Mbak yakin kalau Mas Darrell akan menerima bayi ini. Kamu tenang saja, kalaupun anak ini enggak diterima, Mbak akan terus merawatnya di sini.
“Kamu tahu ‘kan? Kalau ayah enggak mau menerima Mbak lagi, terutama bayi ini.”
Mereka saling bertatap muka sejenak. Kemudian laki-laki itu menghela napas panjang, berikut Selina yang langsung berkedip cepat. Dan mereka pun kembali berjalan menuju pintu keluar.
“Mbak yang sabar, ya. Aku yakin, kalau Mbak itu adalah perempuan yang kuat juga tangguh,” ujar lelaki itu. Sejurus kemudian, ia mengulaskan senyum saat melihat Selina tersenyum ke arahnya.
Selina memalingkan wajahnya ke depan. Sembari melangkah gontai, ia berharap: kalau Darrell akan menerima bayi yang telah dikandungnya selama 9 bulan.
Maka dari itu, dia memutuskan untuk pergi ke San Francisco. Mengantarkan bayi laki-laki itu, sekaligus meminta pertanggung jawaban kepada Darrell.
Pria yang telah merenggut kesuciannya satu tahun yang lalu. Dan pria yang telah mencuri perhatiannya, saat bertemu di jalanan Kota San Francisco.
Selina masih ingat sekali; ketika Darrell menawarkan tumpangan kepadanya dan juga kedua temannya.
Saat kaca mobil terbuka, Selina mendapati paras tampan yang mampu mengguncang raganya. Tulang kakinya terasa menghilang dalam tumpuan. Seakan-akan ia akan pingsan.
Namun sayang, saat itu temannya mengoceh, hingga paras tampan itu pelan-pelan memudar pada wajah Darrell.
Meski begitu, rasa cinta pada pandangan pertama itu tidak memudar sama sekali.
Selina menaiki taxi yang telah diberhentikan oleh adiknya. Ia duduk di kursi belakang, dan adiknya masuk setelah dirinya merasa nyaman dengan posisinya yang menggendong bayi.
“Mbak, kalau ada apa-apa langsung kabari aku, ya. Supaya aku bisa membantu Mbak.”
“Hm,” sahut Selina lembut. Dia menoleh ke arah adiknya. “Kamu tenang saja. Dan nikmati masa liburanmu ini. Kapan lagi coba kamu bisa pergi ke luar negeri?”
Laki-laki itu mengangguk paham. “Iya Mbak. Makasih mau bantu aku untuk pergi ke San Francisco. Sungguh, ini adalah pengalamanku yang pertama kali.”
Selina mengulas senyum hangat. “Makanya kamu manfaatkan momen ini. Jangan sampai ada momen yang terlewatkan sedikit pun. Paham?”
“Paham, Mbak.”
Selina pun mengulas senyum simpul. Lalu pandangannya beralih ke depan. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Darrell.
Hanya membutuhkan waktu lima belas menit, Selina sampai di depan rumah Darrell yang begitu megah.
Dia harus berpamitan dengan adik laki-lakinya di tepi jalan. Setelah itu, Selina berjalan ke arah gerbang yang menjuang tinggi. Kanan-kiri gerbang terbut terdapat gapura yang cukup tinggi. Membuat Selina jengah melihatnya.
Gadis itu menebak: kalau Darrell bukanlah laki-laki biasa. Pasti dia memiliki seribu kisah dibalik apa yang saat ini dimilikinya.
Maka dari itu, Selina semakin yakin: Kalau kehidupannya akan berubah—jika menikah dengan pria itu.
Namun siapa sangka?
Perempuan itu mendadak terdiam. Saat mendengar keributan dari dalam rumah tersebut. Dengan rasa penasaran, Selina mengendap-ngendap untuk menempelkan tubuhnya dengan dinding rumah. Dia mendengarkan percakapan yang samar-samar. Namun ada kata-kata yang terdengar cukup jelas olehnya. Yakni ‘Menikah'.
Pikiran gadis itu pun mulai berkelana; Apakah Darrell akan menikah? Apakah laki-laki itu akan meninggalkannya? Lalu bagaimana dengan nasibnya, dan anaknya Darrell juga?
Selina semakin yakin kalau Darrell akan meminang seorang perempuan. Saat kata ‘Menikah' itu ditegaskan kembali. Membuat Selina pasrah tentang impiannya selama ini, dan memutuskan untuk menaruh bayi tersebut di depan pintu rumah Darrell.
Karena biar bagaimanapun, anak itu perlu sosok ayah yang mampu menghidupinya secara material. Maka dari itu, Selina bertekad untuk menaruh bayinya ke dalam box yang tergeletak di samping tong sampah.
Dia berlari untuk mengambil box tersebut, lalu membersihkannya hingga terlihat bersih. Dengan leluasa, Selina menaruh bayinya dengan tenang. Lalu berjalan ke depan pintu rumah Darrell yang masih tertutup rapat.