Dean cukup percaya bahwa tekad sekeras bajanya untuk hengkang dari rumah bisa melepasnya dari mimpi buruk. Berakhir menjadi pencuci piring di salah satu restoran, menempati kamar kos sempit, lalu terpaksa menghentikan kuliahnya.
Dean menukar banyak hal untuk kemudian mendapatkan kebebasannya. Tidak gampang berjuang sendirian. Alih-alih menggunakan transfer kiriman di rekeningnya membiayai kuliah, Dean malah membuka usaha baru. Rahadi marah besar ketika mengetahuinya dan menghentikan kucuran dana, tidak membuat Dean gentar.
Lambat laun jerih payahnya membuahkan hasil. Restoran kebanjiran pengunjung. Malah, dia hendak membuka cabang lain. Sial, musibah itu datang sekejap saja. Ditipu mentah-mentah oleh rekan kepercayaannya, utang menumpuk, kemudian restoran bangkrut. Nyaris Dean berakhir di penjara andai Rahadi Rajanarda, ayahnya, seseorang yang amat dibencinya tak datang membantu.
Bertahun-tahun lalu Dean pergi dari rumah, kini tak ada alasan baginya menolak kembali ke tempat ini. Tidak ada pilihan lain, mungkin dia memang dikutuk menjalani nasib sialnya sekali lagi di sini.
Bangunan dua lantai itu tak ada yang berubah. Dean menjejak beberapa undakan hingga tiba di pekarangan yang telah disulap menjadi outdoor area. Diusap bulir di kening, Dean menahan umpatannya. Bodoh! Dia seharusnya sejak tadi melewati rumput setinggi tumit itu bukan malah bengong bernostalgia. Tujuannya meencari lelaki tua yang dalam beberapa waktu akan menjadi atasannya.
Tak urung Dean melirik ke sekitar, taman vertikultur melekat pada masing-masing dinding pembatas. Dua bangku panjang berlantaikan kayu vinyl mengilat diletakkan tak jauh dari dinding kaca. Selera lelaki tua itu, masih sama jeleknya sejak dulu!
Di depan pintu kaca, Dean melengak dan menatap lekat tulisan SHADE cukup besar di atas sana. Saat menurunkan pandangannya, Dean menemukan perempuan mungil menatapnya seraya tersenyum lebar.
“Aku menunggumu dari kemarin.”
Dean belum menjawab. Sepasang matanya berkeliaran menelisik bagian dalam kedai. Ada mural di dinding tak jauh dari bar. Pindah ke deretan kursi yang rapi. “Sepi sekali. Selalu seperti ini?”
Sandra menunjuk salah satu kursi tak jauh dari mereka. Menyilakan Dean duduk dan pamit sebentar untuk membuat minuman. Sebelum Sandra menjauh, Dean sudah mencegahnya.
“Jadi, di mana dia sekarang? Menyelesaikan pekerjaannya yang lain?”
“Masih seperti yang dulu rupanya. Kamu ingat kapan terakhir kali kita ketemu?”
Dean menghindari tatapan Sandra. “Tiga atau empat tahun?”
“Om Rahadi ada di balkon, sedari tadi menunggumu.”
Tanpa sadar Dean mendongak, melepaskan desah. Dikatakan pada Sandra tak perlu repot-repot menjamunya. Dia baru akan memutuskan bergerak jauh ke dalam rumah, Sandra bersuara.
“Aku senang kamu kembali.”
“Wow, that’s surprising me.” Dean bergerak mundur. “Sandra, you find me here because I have nothing. Ketimbang mengemis di jalan, pilihan masuk akal adalah merendahkan diri kembali ke tempatnya. Paling tidak, saya nggak sendirian di sini.”
Seandainya bertemu Sandra di tempat lain, keadaannya akan berbeda. Sungguh, moodnya hancur seketika berada di sini. Tidak ada yang berubah, hanya membangkitkan kenangan lama yang menyeruak ke dalam benaknya.
Dinding bercat monokrom. Pigura-pigura di dinding. Lorong di sayap kiri, kamarnya tersembunyi di sana. Konta Dean teringat pada rooftop persis di sebelah kamarnya yang dulu. Apa kabar tempat itu sekarang? Namun, langkah kakinya menggiring Dean beranjak lurus ke depan. Membuka pintu geser dan dengan mudah menemukan seseorang yang dicarinya.