Gelas yang isinya sudah tandas itu diletakkan di atas mini bar, tak peduli pada bunyi yang dihasilkan akibat berbenturan dengan meja. Hampir seminggu sudah dia tak melakukan apa pun, sungguh menumpang hidup seperti parasit. Tuan Bos sedang di luar kota, tanpa meninggalkan titah apa pun, barangkali meminta Dean berkomunikasi melalui telepati.
Menarik tubuh yang tadi bersandar pada mini bar, Dean beranjak membuka lemari pendingin. Terdapat beberapa jenis sayuran, apel, serta sunkist di sana. Dia tidak terbiasa sarapan, tetapi tidak melakukan apa-apa justru perutnya makin kelaparan. Ada-ada saja. Mendadak Dean terpaku sebab tak menemukan mi dadak miliknya.
Mendengar derap langkah, Dean mendapati Sandra berhenti di depan meja makan. Mengatur beberapa barang di sana. Lalu menaikkan rambut sepunggungnya sebelum menyentuh sapu ddi pojokan. Dari kemarin, Dean sangat ingin menanyakan apa tepatnya pekerjaan Sandra selain mengurus kedai, sebagai asisten rumah ini juga?
"Mi yang saya simpan di sini nggak ada."
Itu yang keluar dari mulutnya. Sandra kini memeluk sapu sembari melepas desah. Diarahkan telunjuk pada lemari kabinet di antara lemari pendingin dan mini bar. "Kusimpan di sana. Kemarin dan hari sebelumnya kamu juga menyantap mi sebagai makan siangmu. Saat sarapan juga? Biar aku buatkan kalau kamu pengin makan sesuatu.”
"Rumah ini kamu juga yang mengurusnya saat Tuan Bos sedang bepergian?" Diraup bayam, kol, dan dua butir telur kemudian Dean bergerak ke kompor untuk menjerang air. “Tak perlu repot-repot, Sandra. Lagi pula, saya terbiasa mengurus diri.”
"Om Rahadi membayarku sangat banyak, jadi ya, bisa dibilang aku sebagai asisten rumah tangga juga di sini." Dean menangkap nada sinis itu. "Termasuk mengurus bocah perajuk, kalau-kalau kamu nggak tahu persis deskripsi pekerjaanku."
"Something wrong with my word?" Sandra menatap datar padanya. "Baik, saya yang menumpang di sini dan cukup menyebalkan. Maaf."
"Dean!" Sandra mengentakkan kaki. Sebenarnya apa salahnya? "Dari pertama kamu menginjakkan kaki di sini, kamu sudah sangat menyebalkan. Mengurung diri di kamar sepanjang hari persis cewek yang ditinggal pacarnya. Kadang mengabaikanku, bukan soal aku sebagai saudaramu, tapi kita patner kerja di kedai. Kamu marah pada ayahmu dan melampiaskannya padaku."
"Saya-"
"Mungkin hari ini aku lagi sensi. Jadi, ada yang bisa kubantu untuk sarapanmu?"
Dean menjerang air, lalu mencacah bayam. Seperti ucapan Sandra, anggap saja perempuan itu sedang sensi atau apa yang mengganggu hatinya. Lebih berguna Dean menyampaikan kekesalannya pada sayuran di atas talenan ini. Benar, dia sedang merajuk pada Bos Besar itu.
Sandra kembali berbicara, menyela fokusnya. "Hani menitipkan salam untukmu. Sesekali kamu bisa bersikap ramah padanya, Dean. Dia pelanggan kita, mungkin akan semakin sering berkunjung ke sini. Siang nanti, aku butuh bantuanmu di luar."
Begitu saja, Sandra memulai membersihkan ruangan ini ini. Dalam beberapa menit Dean menunggu merebus sayuran itu, Sandra tetap bungkam.
Sebelum Dean membawa semangkuk besar mi, Dean melongok ke luar di antara ruang tengah dan kedai. Tampak Sandra sedang mengelap permukaan meja bar. Bantuan seperti apa yang dibutuhkan Sandra darinya saat beberapa hari ini kedai sepi. That’s a silly thing. Apa dia tidak akan kebosanan di luar sana?
Kemarin, dia menikmati seteguk smoothie buatan Sandra. Tidak ada yang salah dari racikannya. Buah yang mereka pilih pun berasal dari buah segar organik. Dia sibuk menilik kedai lalu pengunjung datang. Seorang kenalan Sandra dan mengajaknya berkenalan, menahannya sampai Dean bosan sendiri mendengar omongan yang tidak putus-putus dari si pengunjung.
Maka, Dean meniti tangga menuju ke kamar. Cukup menyeberangi birai jendela, di sanalah dia sering menghabiskan waktu. Tidak ada rumput segar setinggi betis memagari tepinya dulu, kecuali area yang berdebu dan cukup panas. Kini, Dean tak ragu menelentangkan tubuh di bawah naungan pohon besar dari belakang bangunan yang menjulang tinggi; lebat daunnya hampir meneduhi sebagian rooftop.
Malamnya dia ke Gyan’s usai berdiskusi sejenak dengan Sandra. Ide itu terlintas tiba-tiba, Sandra seperti tidak setuju terbukti dari raut wajah datarnya. Terserah. Hanya itu di dalam kepalanya ketika mencoba memikirkan apa yang salah dari kedai ini.
Ada tawa terdengar, saling sahut-sahutan. Hampir pukul sepuluh kenapa masih ramai di sini. Pintu tidak terpentang sehingga Dean tidak bisa melongok ke dalam. Dean tiba tepat di pintu, hendak memanjangkan tangan, tahu-tahu pintu menguak dan gadis jangkung segera mengeram langkah. Dean ingat gadis itu, seketika menghadirkan rasa ngilu di sekujur tubuhnya.
"Hai. Rif baru keluar, nganterin pulang salah satu murid. Mau nungguin di dalam?"
Tiga remaja lelaki di dalam sana. Seorang lekat menatap laptop dan sisanya senantiasa becanda. Dean menggeleng berniat membalikkan badan, colekan lembut dibahunya menahan kakinya bergerak.
"Nanti akan kusampaikan kamu datang ke sini, sekalian nitip pesan buat Rif juga bisa, kok."
Gelengan lagi. Bersama tiga remaja di dalam dan gadis ini, Dean tidak yakin merasa nyaman. Dean tidak mengatakan apa pun lalu berbalik. Sampai di gadis jangkung itu memanggilnya.
"Hai. Tunggu!" Dean agak terkesiap sosok itu muncul di depannya. "Kamu nggak membalas pesanku. Maksudnya, aku nggak tahu apa aku dimaafkan atau nggak. Obat yang aku kasih malah kamu tolak. Waktu itu aku nggak sengaja, kamu pasti tahu. Kupikir ada penguntit karena Rif nggak ngomong apa pun tentang dia yang menerima tamu."
"Saya dan Rif yang kamu salahkan?"
"Eh, bukan. Tadi itu aku sedang membela diri. Bukan kalian, keadaannya saja yang lagi nggak pas. Coba deh posisinya kebalik, kamu pun pasti melakukan hal itu."