"Kalau Kak Dean nggak doyan main ke sini paling nggak jangan ditutup kedainya."
Kalimat pertama yang didengar dari seorang remaja begitu muncul di tempat ini. Kemudian, "Kak Fella." Otomatis Fella melengak. "Kakak ada nomornya?"
"Nggak ada, coba kalian minta sama Kak Rifgi."
Erangan dari dua remaja itu terdengar. Seorang di antaranya menyahut bahwa Rifgi enggan memberikannya, tidak ada gunanya menyimpan nomor kontak cowok bule tersebut.
Sehabis Dean dan Sandra datang ke sini tempo hari, seisi Gyan's membicarakan cowok itu. Seolah belum cukup Hani menceritakan Dean belakangan ini. Fella teramat terganggu, jujur saja. Tiap kali bermain game atau membaca buku akan selalu diinterupsi demi mendengar pertanyaan receh dari siswa.
Rif dan Hani berkali-kali ke kedai membantu Sandra. Dari mereka, Fella akhirnya tahu akan ada perubahan menu, sekali Fella diminta ke sana untuk memotret, dia amat tercengang pada perubahan itu. Lima varian smoothie bowl yang menjadi andalan kedai benar-benar cantik dan menggugah selera, jelas Fella semakin semangat memotret.
Begitu Sandra memperlihatkan dua sampel donat, Fella menyeru kegirangan. "Mana tega makan yang beginian, Teh. Aku simpen terus aja di kulkas."
"Lama-lama juga nggak ada lagi gunanya."
Fella mengerling pada Dean. "Kamu mah nggak ada selera humornya."
Di sela-sela memotret itu, sesekali Fella melirik ke arah Dean, hanya untuk mengukur tinggi badan cowok tersebut yang kepalanya tidak sampai di telinga Dean. Mengingat tingginya 170 cm, selisih mereka mungkin 13 cm atau lebih.
"Omong-omong," Fella mengirim sekian foto ke ponsel Dean. "Restoran yang kamu tinggal karena kerja di kedai, apa kabar?"
"Sejauh ini saya lihat kamu kepoan, ya. Nggak ada yang ngomong itu ke kamu?"
Fella mau mengatakan sudah karakternya seperti itu, tetapi ditahan. Mengingat wajah tidak ramah Dean sungguh menakutkan.
Besok adalah hari pertama kedai setelah tutup seminggu. Sayang sekali kemungkinan Fella akan absen ke sana. Akan tetapi, berulang kali dia mengirim pesan pada grup WhatsApp Gyan's meminta mereka hadir di sana meramaikan, saat membeli tak lupa mengulasnya di Instagram.
Ada janji yang harus ditepati bersama Papa di sebuah kafe. Lelaki berumur 30 tahun, berambut gondrong rapi, dan cerdas. Sejauh ini mereka cocok, kendalanya satu, Fella belum bisa move on sepenuhnya.
Di perjalanan pulang, Fella memberengut melihat foto di sana. Mupeng rasanya. Saat Papa menanyakan pendapat Fella, dia berujar. "Cowok tadi terlalu tua untuk aku, Pa."
"Kira-kira berapa umur yang tepat untukmu? Abrar cukup dewasa, tahu-tahu kalian berakhir begitu saja."
"Bukan jodoh itu namanya," kilah Fella. "Aku nggak mau ketuaan, terlebih aku belum siap nikah."
"Memang Papa nyuruh nikah sekarang?"
Hari itu dia tidak ke Gyan's, izin sakit padahal bete setengah mati pada Papa. Rif bisa membaca suasana hatinya dan mengorek informasi yang disembunyikan Fella. Saat tahu bahwa sangat ramai di SHADe, menyesal sekali Fella tidak ikut bergabung.
Tak lama kemudian sebuah paket makanan datang. Si kurir mengatakan membawa kiriman untuk Raefal dan Fella, segera disambut 12 donat lucu tersebut.
"Ini kiriman dari teman Kakak yang minta pendapat tempo hari, ya? Sering-sering saja, ya, begini."
Fella hendak berterima kasih pada Dean, dia yakin cowok itu yang memberinya, lalu urung saat mengingat sikap Dean mendadak dingin usai percakapan tentang restoran. Sebagai ganti, Raefal dan Fella berfoto dan mengunggahnya di Instagram.
Yang tak disangka Fella adalah komentar dari Dean. Trims, tulisnya. Kata singkat itu segera melegakannya.
***
"Nggak percayaan kamu sama aku, lihat siapa cowok di belakang itu."
Fella menatap saksama ketika Hani menyorot sesosok di belakangnya. Dean berbicara pada Sandra, lalu Hani menyapa dibalas dengan anggukan singkat.