Lima kilo dalam sebulan!
Padahal Fella sudah mengurangi konsumsi donat, tidak setiap malam mengemut coki-coki, dan dia jogging, kok. Oke, hanya sekali seminggu. Fella turun dari timbangan, memeriksa benda tersebut yang bisa saja sedang rusak. Timbangannya baik-baik saja, kenapa beratnya naik drastis?
Kenyataan pahit yang diterimanya adalah pipinya mulai tembem. Fella terpaksa menjuntaikan rambut agar terlihat tirus. Dia senantiasa berdiri di depan cermin meneliti apa-apa saja yang layak disembunyikan. Fella bersyukur dress pinafore dongker selututnya masih muat dan kini bisa menyamarkan bentuk tubuhnya. Mama terheran-heran akan penampilan femininnya, menyangka Fella akan pergi bersama cowok yang sempat dikenalkan Papa. Segera Fella menampik dengan mengatakan akan ke kedai.
“Kalau nggak ke Gyan’s, pasti nongkrong di kedai tempat kerja. Mama ngarep lho kamu diajak jalan sama kenalan Papa itu. Waktu Jangan-jangan kamu malah bikin malu, Fel. Cakep begini masa nggak ada yang lirik, sih?”
Fella berdecak, meraih tangan Mama dilanjut mengecup pipi beliau dan mengambil ketsnya. Semalam Sandra memintanya kembali ke kedai. Ada tambahan menu baru untuk brunch. Fella tidak bertanya lagi, berpikir hanya menu biasa, tetapi saat melihat Dean membawanya dalam keadaan panas, ilernya nyaris keluar.
Hot Pastrami Sandwich, berupa lapisan pastrami dan sosis keju yang disiram mayonaise. Bahkan Fella tak perlu mendekatkan inderanya untuk menghidu, aromanya menguar cukup kuat di udara. Dia sedang diet, haruskan melewatkan makanan ini nanti? Disentuh perutnya, ada sedikit tumpukan lemak di sana. Sandwich ini akan menjadi favoritnya, nanti, setelah berat idealnya kembali. Maka, segera Fella menghentikan Dean mendetailkan makanan ini.
Beberapa saat, Dean tengah sibuk memperhatikan semua foto yang baru dikirim olehnya, Sandra pamit ke depan sejenak. Dan Fella, merenungi betapa lezatnya sandwich itu. Untuk saat ini, Fella akan berupaya menahan diri, hanya sebentar. Dia merapikan perkakas di meja pantri, saat melengak itulah, Fella mendapati Dean masih terfokus pada ponselnya.
Seketika saja, Fella menaikkan ponsel demi menyorot cowok itu. Dia pernah mengatakan pada Sandra agar memosting juga foto mereka berdua di akun SHADe, Dean tak pernah tertarik melakukannya. Mungkin Fella bisa membantu Sandra saat ini. Dia tidak lantas memotretnya karena Fella justru tertarik pada profil wajah itu. Selain rambut berantakan itu, Hani kerap menyebut alis menukik Dean seksi. Fella justru berpendapat bahwa alis itu tampak antagonis. Mata abu-abu pekat itulah, seringnya Fella tak bisa menjauhkan pandangannya pada Dean. Menyorot tajam, di sisi lain− ponselnya nyaris terjatuh ketika Dean menoleh seketika.
“Saya nggak dengar kamu minta izin sedang mengambil gambar saya.” Kadung ketahuan, Fella tidak akan menampiknya. “Bisa kamu hapus?”
“Sesekali, akan lebih bagus mengunggah fotomu saat bekerja.”
“Untuk menarik pengunjung? Yang benar saja!” Dean tahu-tahu berada tak jauh darinya. Memandang lurus dan perutnya serasa diaduk, tak karuan. “Kemarikan ponselmu.”
“Hei! Aku belum sempat motret kamu, lho, tadi.” Gerakan cowok itu terlalu cepat. “Mengambil barang orang tanpa permisi itu nggak sopan, tahu.”
“Tapi memotret orang diam-diam itu sopan?”
“Lihat? Aku belum sempat melakukannya.” Ponsel itu sudah kembali di tangannya. “Kamu tuh ya, santai sedikit dong.” Karena Dean belum juga berpaling, Fella merasa perlu menjelaskan. “Jangan salah paham, aku hanya iseng tadi.”
“Memang saya sedang memikirkan apa?” Dean tahu-tahu mengambil langkah yang kian menipiskan jarak mereka. Lurus tatapan itu menyelidik matanya. Sungguh Fella hendak mendorong saja cowok ini, sayangnya, dia seolah terhipnotis pada mata itu. “Saya penasaran kenapa pipimu semerah tomat sekarang.”
Menyebalkan sekali cowok ini. Fella menahan agar tidak sewot merespons Dean. Tetap diabaikan hangat di sepanjang pipinya. “Matamu bermasalah kayaknya.”
Dean menelengkan kepala, senantiasa memberikan alis antagonisnya. Serius, ya, ditatap lama-lama dengan mata seksi itu, bisa-bisa Fella akan kalah. “Gunakan ponselmu itu melihatnya.”
“Whatsoever! Masih ada yang pengin kamu omongin?” Fella menunjukkan jam tangan. “Sudah waktunya aku harus ke Gyan’s.”
Sewaktu Dean menjauh dan berbalik, Fella diam-diam melepaskan napasnya. Kakinya seperti deskripsi di novel-novel itu, lemas seperti jelly. Belum lagi degub jantungnya. Tuhan, apa yang mesti dilakukannya agar tidak terpesona─ jangan terus-menerus memuji cowok ini, Fel!
Diambil sling bag yang kini memberati pundaknya lantas bergegas, baru beberapa detik, dia dikagetkan dengan Dean yang berbalik tiba-tiba. “Sandwichnya nggak kamu bawa?”
“Ih, balik badan dadakan!” Cowok itu memutar bola mata. “Nggak dulu, lagi diet karbo.” Fella menjadi risih ketika Dean menelisiknya terang-terangan. “Lihat apa?”
Dean tidak menjawab sebab teralihkan kedatangan Sandra yang membawa boks besar. Fella hanya bergeming menyaksikan Dean ke arah Sandra dan mengambil boks itu.
Sibuk sekali Fella hari ini sebab dua pengajar mendadak izin sehingga dia mengatur ulang jadwal bimbel hari itu. Agak sulit mendapatkan pengganti kalau Fella tidak memaksa Hani dan mengisi jadwal Rif di anak SD dan SMP dengan pelajaran Bahasa Inggris, lalu Rif hari itu mengajar di dua tingkatan SMA. Selesai mengajar, istirahat 10 menitnya malah diganggu siswa SD agar dicetak tugas-tugasnya.
Dia belum mendapatkan rehat kemudian dilanjut menjilid tiga tugas siswa SMP, gara-gara tampang memelas itu, Fella akhirnya luluh. Kurang apa sindirannya setiap hari disampaikan pada siswa-siswa pemalas itu agar jangan merepotkan orang lain jika menyangkut tugas mereka di sekolah?
“Nggak dibalas lagi deh, Fel.”
Hani duduk di sebelahnya. Meletakkan ponsel di meja, wajah ditekuk. Fella pura-pura mengusap keringat di kening untuk menunjukkan bahwa dia sibuk. Urusan Dean lagi deh ini kayaknya.
“Fel.”
Sudah berapa kali sih dia menerima nada memelas itu beberapa jam terakhir ini? Seraya melepas lakban, dia menoleh. “Dean lagi?”