SWEET NOTHING

Kejora Anaphalisia
Chapter #10

Sepuluh

Kemunculan Rahadi di dapur akan menghalangi rencana Dean berlama-lama di ruangan itu. Usai mengambil sebotol minuman dari lemari pendingin, dia hendak ke atas. Ujung-ujungnya Rahadi mencegahnya pergi. 

“Bagus juga kamu mempertimbangkan menu lain, pengunjung mulai mengalami peningkatan. Kalian tidak berencana mendatangkan pegawai baru?”

Andai kedai selalu ramai sebulan penuh akan mampu menambal modal yang dikeluarkan Rahadi. Mereka belum bisa dikatakan untung, saran Rahadi hanya akan menjadikan kepalanya pusing. “Kami masih bisa mengatasinya. Mungkin Sandra belum menunjukkan laporan pembukuan, setelah melihat itu Bos bisa memikirkan ulang rencana merekrut orang lain.”

“Sebetulnya sudah saya lihat. Ini hanya ide sebelum salah satu di antara kalian mengeluh kelelahan.”

Percakapan itu segera Dean tinggalkan. Di dapur ini, Dean akan membuat isian sandwich berbeda, tetapi tidak mungkin dilakukan ketika berada di ruangan yang sama dengan Rahadi. 

Beberapa saat setelah menurunkan kedai, dua pengunjung masuk. Sandra memperlihatkan senyum lebar ketikan dua porsi smoothie akan dibuatnya. Dean mengecek ponsel, penting untuk selalu mengunjungi akun SHADe demi melihat ulasan pengunjung. Lalu matanya membeliak begitu menemukan beberapa yang justru out of topic. Lebih membicarakan betapa pelitnya dia tersenyum, mengabaikan pujian pengunjung, dan demi Tuhan, mereka memberikan bintang tiga untuk perkara tidak penting itu.

“Aku melihatnya tadi.” Sandra tetap berkonsentrasi pada potongan buah arbei, tidak melirik Dean dan tetap melanjutkan ucapannya. “Mungkin kamu perlu mempertimbangkan mereka. Maksudku, bisa-bisa orang yang membaca ulasan itu berpikir kamu nggak ramah, Dean.” 

Dean meletakkan ponsel. Mengetuk meja menggunakan telunjuk. Dia benar-benar gondok sekarang.

“Omong-omong, pendapat Rif bagus juga. Nggak hanya menu melulu, bagus juga memposting keadaan SHADe, toh pengunjung di sini mulai ramai. Sesekali mungkin foto ketika kamu membuat sandwich, tapi aku tahu kamu pasti nggak akan setuju.”

Ponselnya mendering bersaman omongan Sandra yang selesai. Nama Fella tertera di sana. Topik genting apa yang hendak dibahas perempuan itu? Sedari tadi terus menghubunginya. Dean menekan tombol merah dan mengirim pesan menanyakan kepentingan Fella. Hanya dibaca, lalu Fella kembali menghubunginya.

Giliran ponsel Sandra berbunyi, ternyata masih dari orang yang sama. Sedikit malas Dean akhirnya mengalah dan mengambil benda tersebut. 

“Susah banget ya angkat telepon aku sebentar?”

Sering Dean mengatakan bahwa dia lebih suka membalas pesan daripada menerima panggilan telepon, reaksi mereka selalu sama. Mengatakannya berlebihan. Dia terlampau malas mendengar pernyataan serupa ketika memberitahu Fella alasanya menolak telepon perempuan itu. 

“Ada apa?”

Decakan terdengar. “Hari ini aku nggak bisa ke kedai.”

“You told me last night. And that’s okay for bothering me by a useless thing?”

“Dean, kamu nggak ngasih jawaban. Dan tadi Sandra memintaku datang ke kedai. Ini kenapa aku menghubungimu dari tadi, Tuan Super Sibuk, yang bahkan mengetikkan kata ya sulit banget. Ditelepon malah nyuekin orang, aku nggak minta waktumu selama sejam, lho,” Perempuan ini, astaga, Dean seketika memijat keningnya. “Jadi, kalau kalian membutuhkan bantuanku beberapa hari ini, aku nggak bisa bantu. Mama dan Papa−”

“I see.” Lantas diserahkan benda tipis itu pada pemiliknya ketika seorang hendak membayar. 

Pintu kedai kembali terbuka. Tiga pengunjung sekaligus disusul suara cekikan. Ya, ya, penyemarak di pagi hari yang hening. 

“Kemarin Hani nggak ada di sini. Kamu nggak habis mengatakan hal kasar padanya, kan?”

“Lama-lama kamu mirip Fella.”

Sandra tertawa. “Kamu nggak sekasar itu, tetap saja menjauhinya telak bukan tindakan tepat. Hani bukan tipe pemaksa meski aku yakin sikap cerewetnya melebihi Fella itulah yang membuatmu nggak nyaman. Mau mendengarkan saranku?” Dean hendak ke dapur, Sandra justru menahannya. “Kalian cocok lho. Sudah saatnya kamu melupakan orang yang meninggalkanmu, Dean.”

“Sandra, stop.” 

“Ini sekadar saran, kok. Jauh lebih baik bersama seseorang yang menginginkan kita.”

“Dengar, kamu sok tahu.” Dibalas tawa pendek Sandra. “Kamu berpikir saya menjadi pesakitan dengan memikirkan perempuan itu terus-menerus.”

“Kenyataannya kamu belum move on, kok.”

Malamnya, saat merebah di lantai roof garden, selalu saja kalimat Sandra berputar di kepalanya. Selama ini, benar Dean masih memikirkan Yasmin. Harapannya agar Yasmin tiba-tiba muncul selalu ada. Dia membenci perempuan itu karena pergi di saat dirinya terpuruk, di sisi lain masih mencintainya. 

Dia mengenal perempuan itu bertahun-tahun lamanya. Ketika Dean terus-menerus di sudut perpus yang sepi agar terhindar dari keramaian, di suatu hari seorang adik kelas setahun di bawahnya menghampiri Dean di parkiran. Mengulurkan tangan dan menyebutkan nama tanpa ragu. Sejak itu, Yasmin menariknya ke kantin. Meminta Dean mengantarnya ke mana-mana hingga hubungan itu tercipta begitu saja. Yasmin pernah bertahan ketika Rahadi berhenti membiayai hidupnya. Dean berpikir, Yasmin akan tetap melakukan hal serupa di kondisinya kali ini.

Kepalanya sedang keruh, angin sejuk di atap tak bisa menyegarkannya, akan lebih berguna ketika dia di dapur. Membuat sesuatu sebagai pengalih. Sebelum melompat ke kamar, Dean melihat pesan Fella.

Ferlita Nishita: Aku membuat ini untuk Nini, mengikuti persis yang ada di google, tapi beliau bilang rasanya aneh. Menurutmu apa yang salah?

Lihat selengkapnya