Waktu berlalu, dan Dito masih bersikap dingin padaku. Telepon dariku tak pernah dijawab dan pesanku juga jarang dibalasnya. Apa dia masih marah? batinku dalam hati.
Akhirnya aku mencapai puncak kesabaranku. Kurasa aku harus berbicara secara langsung dengan Dito, aku pun memintanya bertemu di salah satu cafe dekat kampus.
Aku sampai lebih dulu, dan setelah menunggu lama tidak ada tanda-tanda kedatangan Dito. Setelah menghabiskan tiga gelas jus Alpukat ponselku berdering.
"Sayang, maaf aku nggak bisa ketemu di sana. Gimana kalau ketemunya di cafe yang lain aja? Kalau mau kamu bisa nemuin aku di sini," pesan Dito. Kemudian dia mengirimkan live location. Tempat yang agak jauh, akupun segera melajukan motorku.
Tiga puluh menit kemudian aku sampai di cafe yang dimaksud Dito. Aku masuk ke dalam cafe dan mencari Dito. Tampaknya cafe ini lebih banyak dikunjungi oleh kaum laki-laki.
Tak butuh waktu lama aku sudah menemukan apa yang sedang kucari. Aku menghampiri Dito. Dia masih asik dengan ponselnya sampai aku menegurnya.
"Eh, udah sampai," ujar Dito sedikit terperanjat, dia mungkin tidak akan menyadari keberadaanku kalau aku tidak menegurnya.
Aku hanya membalas dengan tersenyum, senyum yang agak kupaksakan. Setelah hening cukup lama aku pun membuka pembicaraan.
Aku mengatakan semua yang ingin kukatakan padanya perihal sikapnya yang berubah, namun Dito tetap berkilah bahwa dia sedang mengerjakan tugas akhir.
Aku mengembalikan uang yang dia pakai untuk membayar makananku tempo hari. Karena kupikir dari situ akar permasalahannya.
Namun Dito makin marah dan melempar uang itu padaku. Kemudian pergi tampa mau mendengar penjelasanku.
Hatiku berdenyut sakit, dia tega memperlakukanku dengan kasar bahkan di depan umum. Aku yakin sekali banyak pengunjung cafe yang melihat kearahku sekarang, karena dilempar uang oleh Dito.
Aku menundukkan wajahku, berharap tak ada yang mengenaliku di sini. Air mata yang sedari tadi kutahan, ternyata tak mampu kubendung lagi, sumber mata air itu tak mau berhenti mengalir bahkan setelah berkali-kali ku seka.
Aku ingin segera pergi dari sini, aku sangat malu sekali. saking malunya aku tidak memperhatikan jalan, kakiku menyenggol kaki meja dan membuatku terjatuh dan jus yang ada di atas meja tumpah ke bajuku.
Andai saja ada pintu ke dunia lain rasanya aku ingin menghilang segera dari tempat ini.
Rasa malu mengalahkan rasa sakit di kakiku, pelan-pekan aku berusaha berdiri meninggalkan cafe dengan menundukkan wajahku. Aku bahkan lupa membayar dan mengganti rugi untuk gelas yang pecah dan bahkan mengabaikan pelayan cafe yang memanggilku.
Sampai di rumah aku menangis sejadi-jadinya, pertama karena sakit hatiku pada Dito, kedua karena kejadian di cafe yang sangat memalukan. Aku benar-benar tidak ingin kembali ke cafe itu lagi.