Aku mengeringkan rambut setelah selesai mandi. Tuut... tuut... ponselku berbunyi, satu pesan masuk tertulis di layar ponselku. Ah, paling pesan dari operator yang menawarkan promo lagi, aku mengabaikannya dan melanjutkan mengeringkan rambutku.
Hari ini aku mengenakan oversized crop sweater dengan geometric skirt dipadukan dengan hijab warna senada sangat nyaman bagiku dengan kondisi cuaca yang sedikit mendung.
Berkali-kali aku menghadap cermin memastikan penampilanku tidak ada yang kurang. Kulirik arloji yang melingkar di tanganku, baru setengah delapan, masih banyak waktu sebelum aku berangkat ke kampus.
Aku kembali meraih ponselku, membaca pesan yang barusan kuabaikan merupakan satu-satunya pilihan yang kupunya. Lebih baik dari pada biasanya aku hanya mengotak-atik menu. Pesan masuk dari Dito. Jantungku berdebar kencang, karena Dito menghubungiku.
"Selamat pagi Sayang," tulis Dito. Aku tidak bisa mengendalikan senyumku yang mengembang hanya karena membaca pesan singkat dari Dito.
“Selamat pagi juga,” balasku, tak lama kemudian masuk lagi pesan dari Dito,
“Hari ini ke kampus? Aku antar ya?” Tanya Dito, membaca itu membuatku melompat kegirangan. Aku merasa sangat senang sampai pada batas yang tidak bisa ditentukan.
“Nggak apa-apa nih? Nggak ngerepotin?” Tanyaku memastikan.
“Nggak kok, 10 menit lagi aku jemput ya,” Balas Dito.
Sepertinya badai salju sudah berlalu, sekarang tiba saatnya musim semi bagiku. Untung saja sedari tadi aku sudah berdandan rapi, sekarang hanya tinggal menunggu Dito.
Sesuai janjinya sepuluh menit kemudian Dito datang menjemputku dengan sepeda motornya. Dengan celana hitam dan kemeja abu-abu yang rapi membuat level ketampanannya meningkat.
“Ini untuk kamu,” ujar Dito sambil menyerahkan sekotak coklat padaku.
“Kenapa?” ujarku bingung, setauku hari ini bukan hari ulang tahunku atau hari penting lainnya.
“Kok nanya kenapa?” ujar Dito sambil tersenyum. “Masa nggak boleh ngasih coklat buat pacar sendiri,” sambung Dito, yang seketika langsung membuat wajahku merona.
“Udah ayok, nanti telah lo,” ujar Dito. Aku pun langsung naik dan duduk di jok motor belakang Dito.
“Pegangan, biar nggak jatuh,” Dito menarik tanganku agar merangkul pinggangnya.
“Iya... iya,” balasku mengiyakan. Jarak dari rumahku dan kampus sekitar tiga kilometer, bisa ditempuh dalam waktu lima menit dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam.
Lima menit kemudian aku dan Dito sampai di kampus. Dito berhenti tepat di depan gerbang fakultasku.
“Makasih ya,” ucapku dan turun dari motor Dito.
“Yang semangat belajarnya,” ujar Dito.
“Iya,” balasku sambil tersenyum.