Asa hanya ingin hidup seperti anak lain.
...
Hadiah pertama untuk putriku tercinta.
Hai Asakilla!
Hai putri impian Mama!
Hai putriku yang sangat hebat!
Air mata tidak berhenti membasahi pipi perempuan yang senantiasa memdekam di dalam kamar. Sudah dua hari sejak kakek pergi, Asa hanya berdiam diri di kamar.
Awalnya gadis kecil itu tidak tertarik dengan kado yang kakek maupun mama siapkan untuknya. Baginya, dibanding semua kado itu, kehadiran mereka jauh lebih dibutuhkan. Asa benar-benar kehilangan mereka untuk selamanya.
Pertama mama mau minta maaf.
Maaf karena setelah kamu menerima surat pertama ini, kamu tidak akan bisa melihat mama lagi.
Asa terpaku. Membaca ulang kalimat yang tertera di surat pertama ibunya. Selama hampir 7 tahun, bayangan mama selalu ada di sisinya. Selama 7 tahun, dia masih bisa merasakan kehadiran wanita itu. Wajah yang dia rindukan, senantiasa bisa dia lihat.
"Kenapa? Kenapa kalian pergi di saat bersamaan?"
Kapan hari Asa masih bisa tersenyum lebar. Dia masih tertawa dengan mama. Dan untuk pertama kalinya mama berbicara setelah 7 tahun berlalu. Siapa yang sangka hari itu menjadi kali terakhir Asa bisa melihat mama.
Percakapan hari itu bahkan masih terekam dalam ingatan Asa.
"Ma, Asa ingin dengar suara Mama. Sekali aja, please."
Asa bisa melihatnya. Asa bisa berbicara padanya, tetapi tidak sekalipun suara yang dia rindukan terdengar.
Mama tersenyum. Senyum paling menawan selama 7 tahun dia menemani Asa.
Tidak ada jawaban, Asa memilih menyerah. Wajahnya cemberut dan bahkan mogok bicara.
"Asa."
Asa membeku. Tubuhnya merespon dengan cepat. Otaknya merekam dengan baik suara merdu yang sangat ingin dia dengar.
"Mama, Asa ingin dipanggil lagi," pinta perempuan itu.
Warna di sekitar Ada mendadak menjadi lebih berwarna, dan di antara semua warna yang muncul. Ada satu warna yang sangat dominan.
Orange.
Bahkan dres putih yang selalu membalut tubuh mama, berganti menjadi orange. Wanita itu tampak lebih bersinar dengan warna yang berbeda.
"Asa, putri hebat mama."
Tangis Asa pecah. Kedua kalinya dia bisa mendengar suara mama. suara yang nyata.
"Jangan sedih apa pun yang terjadi. Asa harus tumbuh menjadi anak yang hebat. Kelak jika waktunya sudah tepat, kita akan bertemu lagi."
"Ma... Bolehkah Asa ikut mama saja? Asa, rasanya tidak akan bisa menghadapinya sendirian."
Mama menggeleng pelan. Senyum masih melekat di bibirnya.
"Jangan ikut mama. Jangan terus bergantung pada mama. Kamu punya kehidupan tersendiri, maka jalani itu dengan baik. Asa... Harus menjadi harapan untuk semua orang."
Mama meminta Asa untuk menjadi harapan untuk orang lain lalu bagaimana dengan dirinya? Kepada siapa dia bisa berharap? Kepada siapa dia bisa bergantung?
"Kalau begitu tetaplah di sisi Asa dan menemani Asa."
Hari itu Mama tidak menjawab. Hanya memeluk Asa erat. Persis seperti yang kakek lakukan. Mereka benar-benar sudah tahu, akan meninggalkan Asa seorang diri.
Asa membuka kembali surat yang tadi dia lipat.