Mengenang keluarga, kerabat, saudara, dan teman-teman yang gugur selama pandemi Covid-19. Semoga amal ibadah mereka diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, serta keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kelapangan dada. Aamiin.
***
"Dhiraaa!!!"
Aku terlonjak saat mendengar suara nyaring seolah menyebar dari balik pintu. Sontak aku menoleh, membuat hidungku terantuk kuas yang sedang disapukan ke wajahku oleh penata rias. Tampak dua gadis bergaun merah muda berteriak histeris dan menghambur memelukku.
"Ya ampun, Dhir! Lo cakep banget! Ampe nggak ngenalin gue! Kirain princess dari mana!" pekik Thea, gadis yang bertubuh paling tinggi.
"Iya, ya! Masih nggak nyangka gue, ih! Dhira si malaikat kecil udah mau married aja!" sambung Silva meremas tanganku.
Belum sempat aku menjawab, pandanganku terhalang sosok laki-laki bertubuh semampai bertolak pinggang. "Tolong, ya, tenang dulu! Pengantinnya lagi dirias. Nanti kalo cemong gimana?"
Suara cekikikan Thea dan Silva terdengar dari balik masker yang menutupi mulut dan hidungnya. Mau tak mau aku ikut tertawa. Kehadiran kedua sahabatku ini mampu mendistraksi dari ketegangan yang terasa sejak semalam.
Penata rias melanjutkan pekerjaannya, memoles bibirku dengan lipstik berwarna merah muda. Ia memberikan sentuhan terakhir dengan menyapukan kuas di pipiku, membuat rona lembut yang membuat wajahku terlihat lebih segar. Setelah selesai, dia menyuruhku berdiri dan merapikan untaian bunga melati yang terjalin dari sanggul hingga ke pundak. Tak lupa dia menyematkan mahkota siger berlapis emas melingkar di atas kepalaku.
“Nah, udah selesai, nih! Gimana? Cucok, kan?” tanya Mas Heri, penata rias yang disewa Mama. Harus kuakui, dia memang berhasil mengubahku yang tak pernah dandan menjadi seperti putri. Ternyata memang benar kredibilitasnya sebagai make up artist terkenal yang sudah merias banyak selebriti dalam negeri. “Ya ampun! Selendangnya lupa! Bentar, ya!”
Mas Heri berjalan ke sudut kamar dan mengobrak-abrik satu dari dua koper besar yang dia bawa. Thea dan Silva mengambil kesempatan itu untuk menghampiriku yang masih berdamai dengan debaran kuat di jantung.
“Dhir, lo nggak apa-apa? Gimana perasaan lo?” tanya Silva menarik kursi dan duduk di hadapanku.
Aku menghela napas panjang. “Kalo ditanya orang lain, mungkin gue bakal bilang kalo gue baik-baik aja. Tapi karena sama kalian, gue ….”
“Ya?” Thea dan Silva memajukan tubuhnya hingga wajahnya dekat denganku.
“Gue deg-degan parah. Gue … gue takut. Gue nggak tau lagi harus gimana,” isakku tertahan.
Silva mengusap tanganku yang sudah dipenuhi henna. “Ya ampun, Dhir. Pasti berat banget buat lo, ya.”
“Iyalah. Jangankan nikah sama cowok yang dijodohin. Sama pacar sendiri aja pasti deg-degan, kan?” timpal Thea. “Apalagi lo baru ketemu dia satu kali, kan? Pas lamaran doang.”