Seketika suasana berubah hening. Napasku tertahan dan jantungku seolah berhenti berdetak. Siapa yang berani menghentikan prosesi pernikahan ini seperti di sinetron? Pacar? Aku tak punya. Kalaupun ada, apakah mungkin ia berani melakukan tindakan konyol seperti ini? Aku yakin tidak. Atau mungkinkah suara itu adalah penyelamatku dari pernikahan yang tidak aku inginkan ini?
Refleks aku mengangkat wajah dan terlihat Pak Penghulu ternganga. Begitu juga Papa yang melotot, wajahnya seperti orang yang baru tersengat setrum. Kulirik sekilas wajah Chandra, calon pengantin pria yang duduk di sebelahku. Dia diam saja tanpa ekspresi. Mungkin sepertiku, dia juga ingin kabur dari pernikahan yang tidak dikehendaki.
“Tunggu! Maaf, Pak! Selendangnya ketinggalan!” Suara di belakangku terdengar terengah-engah. Aku menelan ludah. Astaga! Ini suara Mas Heri!
“Yaelah, Tong! Gua kira apaan! Timbang selendang doangan lu teriak sampe jantung gue mau copot! Gue kira kayak di pilem-pilem ini kita lagi shoting!” omel Pak Penghulu.
Semua yang hadir tertawa sementara aku rasanya ingin mencekik Mas Heri. Huh, bikin deg-degan saja! Ulahnya membuatku sempat berharap ada pangeran dari negeri seberang yang menyelamatkan sang putri dari pernikahan politik. Ternyata cuma perkara selendang! Menyebalkan.
Ekor mataku kembali melirik cowok berkulit putih di sebelahku. Bulir keringat membanjiri dahi hingga pipinya, tetapi dia tetap diam seribu bahasa. Tak ada perubahan sedikit pun dari wajahnya, bahkan di tengah kejadian konyol ini. Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku menikah dengan patung?
Acara dilanjutkan setelah Mas Heri membentangkan selendang di atas kepalaku dan Chandra—aku masih bingung mau memanggilnya dengan sebutan apa. Pak Penghulu kembali serius, mengarahkan Papa untuk berjabat tangan dengan Chandra. Dengan lantang, Papa melantunkan kalimat ijab yang membuatku seketika merinding. Pria yang telah membesarkanku, menyerahkan kewajibannya pada seorang laki-laki asing.
"Saya terima nikah dan kawinnya Andhira Dayana Putri binti Gofar Shadiqin dengan mas kawin berupa emas seberat dua puluh lima gram dibayar tunai!"
Jantungku berdegup seperti bedug yang ditabuh demi mendengar untaian kalimat yang keluar dari mulut pria di sebelahku. Suaranya yang berat terdengar asing, terlebih saat menyebut namaku disusul dengan nama Papa yang menjabat tangannya. Meski begitu, tak ada sedikit pun getaran dari nada bicaranya yang tegas, lantang, dan tanpa tersendat.
“Bagaimana saksi? Sah? Sah?”
“Sah!” Teriak saksi berbarengan.
“Alhamdulillah …,” ucap Pak Penghulu dilanjutkan dengan membacakan doa pernikahan.
Aku menengadahkan tangan, mengaminkan dengan lirih. Beginilah akhirnya—atau bisa dibilang awalnya—aku menikah dengan pria bernama Chandra Kumara Dirandra. Aku hanya bisa berharap semoga doa-doa kebaikan yang diaminkan oleh puluhan hadirin ini dapat menjadi bekal untuk melangsungkan kehidupan rumah tangga nanti.
“Ya, sekarang, pengantin silakan berdiri!” perintah penghulu lagi. Kami mengikuti arahannya dengan kaku. “Eh, eh, bukan ngadep saya. Hadap-hadapan, dong!”