Suara tangisan Mama memecah kebisuan yang tercipta sejak pembubaran acara. Wajahnya penuh dengan air mata, riasannya luntur seketika. Sanggulnya lepas, rambutnya berantakan. Tubuhnya lemas hingga ia tak sanggup duduk tanpa penopang. Senyum yang sejak tadi semringah kini raib ditelan kesedihan yang menyayat hati.
Tante Rosa dan beberapa kerabat yang menemaninya duduk di karpet merah tangga pelaminan. Termasuk aku, yang kini masih mengenakan gaun pengantin merah jambu. Tamu yang lain sudah pulang—atau lebih tepatnya dibubarkan paksa—sehingga yang tersisa kini hanyalah petugas katering dan dekorasi membereskan peralatan.
“Sudah, Ma,” bujukku lembut. “Mama istirahat dulu. Mungkin dengan begini Mama bisa istirahat, dari kemarin, kan, capek siapin hajatan.”
“Iya, Teh. Yuk, masuk dulu!” sambung Tante Rosa.
Mama mengerang sesenggukan. “Gimana aku bisa tenang? Aku malu sama tetangga, sama teman-teman kerja. Nikahan Dhira pasti bakal jadi omongan! Ya Allah … kenapa bisa begini?”
Aku menghela napas panjang sambil mengusap-usap bahu Mama. “Biarin aja, Ma. Nggak usah peduliin omongan orang,” cetusku. “Lagian, ini konsekuensi kita ngadain acara pas pandemi.”
“Tapi kita, kan, udah prokes!” Mama membentakku. “Kamu nggak ngerti Dhira! Mama udah keluarin banyak buat acara ini. Buat kamu! Biar kamu bahagia!”
“Iya, Ma. Dhira tau,” sahutku pelan. Mungkin definisi bahagia versi Mama adalah mengadakan hajatan dengan banyak orang. “Dhira minta maaf. Dhira cuma nggak mau Mama sedih terus. Yang penting, kan, akadnya udahan.”
“Iya, Mbak Euis. Tenang dulu.” Suara wanita terdengar dari belakangku. Dengan kepala yang berat karena masih terpasang siger, aku menoleh. Ternyata Tante Rahayu dan keluarganya. Tentu saja ada juga Chandra. Mereka sudah berganti pakaian biasa.
Mama tampak gelagapan. Masih bersimbah air mata, ia berdiri dibantu aku dan Tante Rosa. “Duh, Maaf Mbak Rahayu. Maaf banget, saya nggak nyangka bakal jadi begini,” ucapnya getir.
Tante Rahayu menggenggam tangan Mama. “Nggak apa-apa, Mbak. Besok, kan, kita masih ada pesta di hotel yang sudah saya rancang. Tenang aja, besok pasti aman. Nggak akan ada yang berani bubarin. Teman-teman almarhum Papanya Chandra udah siap jadi backing-an. Besok kita pesta lagi, ya.”
Wajah Mama merah padam. Ia mengangguk kaku. “Saya bener-bener nggak enak sama keluarga Mbak Rahayu. Maaf sudah bikin malu.”
“Ini, kan, nggak direncanakan, Mbak. Bener kata Dhira, yang penting akadnya sudah dilaksanakan. Dhira sama Chandra sudah resmi jadi suami istri. Dan kita juga resmi jadi besan!” pekik Tante Rahayu girang.
Aku meneguk ludah mendengar kata suami istri. Sekilas aku melirik Candra yang berdiri di belakang ibunya. Ia masih terus menunduk, memandangi kakinya yang terbalut sepatu sport. Telinganya memerah.
Mata Mama yang basah tampak berbinar. “Iya, Mbak. Terima kasih, ya,” ucapnya tulus. Ia memeluk Tante Rahayu yang balas menepuk-nepuk pundaknya.