Aku duduk dengan kaku di jok tengah mobil Avanza, merapat di dekat pintu sebelah kiri. Di sebelahku, Chandra melakukan hal yang sama. Tante Rahayu duduk di samping supir, sibuk berceloteh tentang betapa antusiasnya ia dengan acara esok. Sesekali aku menanggapi, tetapi aku lebih banyak membuang pandang pada tepi jalan yang sudah dinaungi sinar mentari sore.
Andaikan saja Mama dan Papa ikut, aku pasti tidak akan merasa sendirian seperti ini. Harus kuakui, Tante Rahayu memang baik. Sangat baik. Rasanya aku harus bersyukur memiliki mertua sepertinya. Justru aku yang merasa canggung karena tak bisa membalas kebaikannya. Sepertinya ia juga sudah kehabisan akal untuk memecah kebisuan antara aku dan Chandra.
Cowok ini memang benar-benar seperti patung hidup. Bahkan sejak berangkat tadi, bisa dihitung jari berapa kali dia membuka mulut. Sungguh berbanding terbalik dengan ibunya yang ramah dan riang, dia tampak seperti besi kokoh nan dingin. Hening, tanpa ekspresi. Jangankan aku yang kenal juga tidak, saat Tante Rahayu bertanya saja dia hanya menjawab ala kadarnya. Apa mungkin dia memiliki ilmu hitam yang akan memberinya kutukan kalau dia berbicara lebih dari dua puluh kata? Hah, pikiranku jadi ngawur entah ke mana.
“Eh, eh, eh! Pelan-pelan, Pak! Itu ada polisi! Pakai masker dulu!” pekik Tante Rahayu membuyarkan lamunanku. Wanita itu menoleh dan berkata cepat, “Chandra, Dhira, pakai masker, ya!”
Kehebohan Tante Rahayu menularkan kepanikan padaku. Segera kubuka tas dan napasku tertahan saat tak menemukan selembar masker pun di sana. Biasanya aku membawa barang satu atau dua. Apa aku sudah memakai semuanya?
Aku melirik Chandra yang mengambil masker dari balik jok di depannya, kemudian kembali menatap keluar jendela. Ingin meminta satu, tetapi rasanya sungkan. Aku belum siap untuk mengajaknya berbicara, khawatir dia akan membalas dengan nada tidak menyenangkan. Hatiku masih terlalu rapuh setelah kejadian yang bertubi-tubi hari ini. Lebih baik aku meminta pada Tante Rahayu yang duduk di depanku.
“Tan—”
“Ini!”
Mataku terbelalak melihat tangan besar Chandra mengangsurkan sehelai masker di depanku. Refleks aku menatapnya dan ia langsung mengalihkan pandangan. Pipinya yang putih terlihat memerah, apalagi telinganya. Tak ingin memperpanjang kecanggungan yang terjadi, aku segera mengambil masker itu dari tangannya yang gemetar.
“Terima kasih,” ucapku parau.
Dia tak menjawab, hanya sedikit mengangguk dan kembali menatap jalanan. Sementara getaran di tangannya saat memberikan masker tadi sepertinya menular padaku yang kini ikut gemetar. Wajahku terasa panas, padahal hanya diberikan selembar masker. Oh, ya ampun! Bahkan perhatiannya ini tak seberapa dibandingkan Kak Haris dulu! Namun entah mengapa jantungku sampai berdebar dibuatnya. Mungkin karena tingkahnya yang malu-malu itu terlihat imut, seperti cowok-cowok tsundere di novel dan webtoon. Tanpa disadari bibirku menyunggingkan senyum setelah memakai penutup hidung dan mulut itu.
Kami tiba di satu-satunya hotel bintang empat yang ada di kota. Tante Rahayu sangat bersemangat begitu turun dari mobil. Dengan sigap, Chandra membantu ibunya yang langsung berceloteh tentang betapa sulitnya saat melakukan reservasi pernikahan di tempat ini. Apalagi rencana pesta yang berulang kali ditunda akibat pandemi, dia harus merogoh kocek semakin dalam agar tetap bisa merayakan hari pernikahan anak semata wayangnya dengan mewah dan meriah.
Memasuki lobi, kami disambut oleh seorang pria berjas yang langsung mengantarkan kami menuju restoran, sementara supir mengurus barang bawaan menuju kamar. Tante Rahayu sangat heboh saat bertemu dengan keluarganya yang sudah menunggu di dalam. Mereka bercengkerama, saling bertukar kabar. Di belakangnya, Chandra mengintil seperti anak ayam yang takut ketinggalan induk. Sementara aku, berada di balik tubuhnya yang tinggi hingga harus memiringkan badan untuk mengintip apa yang terjadi di depan.
“Oh, iya! Sampai lupa! Ini dia pengantinnya!” pekik Tante Rahayu seraya memamerkan kami seperti mahakarya yang baru saja dia buat sepenuh hati. “Loh, Dhira! Sini, Nak! Jangan di belakang!”
Tante Rahayu menarik lenganku hingga mau tak mau aku maju ke samping Chandra. Semua pandangan tertuju pada kami. Aku memasang senyum kikuk sambil terus memilin tangan yang berkeringat. Di sebelahku, Chandra mengusap-usap tengkuknya tiada henti.
“Nah, ini dia bintang utamanya!” sambut seorang wanita yang mengenakan setelan kebaya berwarna biru.