“Chandra, kamu ke kamar duluan aja. Mama mau ngobrol sebentar sama Dhira,” ucap Tante Rahayu saat tiba di depan kamarnya.
Chandra mengangguk, kemudian berjalan lebih dulu menuju kamar yang terletak di ujung. Aku menghela napas lega. Tante Rahayu menyelamatkanku dari ketegangan yang menyiksa.
Aku membuntutinya masuk ke kamar. Wanita itu menyuruhku duduk di kasur, sementara dia membuka koper yang sudah diletakkan dalam lemari. Aku menduga dia akan memberikanku benda berharga, seperti yang biasa dilakukan mertua di film romansa. Benar saja, sejurus kemudian, dia kembali membawa sebuah kalung dengan bandul berbentuk hati.
“Dhira, Mama mau kamu nerima ini. Ini hadiah dari almarhum Papanya Chandra waktu dia melamar Mama,” ucap Tante Rahayu dengan wajah sendu.
“Eh? Apa nggak apa-apa aku terima ini, Tan—ehm, maksudku, Ma?”
Senyum Tante Rahayu mengembang. “Nggak apa-apa, Sayang. Justru Mama memang mau mewariskan ini buat istrinya Chandra,” sahutnya lembut. “Mama masih nggak nyangka Chandra punya istri. Apalagi dia bisa dapat istri secantik dan sebaik kamu.”
Aku tersipu mendengar pujian Tante Rahayu. “M—makasih, Ma,” bisikku lirih.
“Chandra itu anak yang pendiam. Dia berubah jadi seperti itu sejak Papanya meninggal. Dia sampai nggak mau sekolah, nggak bilang kenapa. Dengar-dengar dari temannya, dia dibully di sekolah. Mama nggak bisa ngapa-ngapain karena dia nggak mau ngomong. Sudah diterapi, berobat ke sana sini, nggak berhasil juga. Akhirnya Mama biarin aja di rumah, homeschooling. Sampai sekarang, dia masih tetap begitu,” kenang Tante Rahayu menerawang. “Mama harap, kamu bisa nerima dia, ya.”
Terperangah, aku tak bisa berkata-kata. Aku tak menyangka suamiku ternyata seorang dengan kepribadian tertutup seperti itu. Apakah aku bisa masuk ke kehidupannya?
“Meskipun begitu, Chandra anak yang baik. Dia perhatian juga, sama Mama, sama bibi yang bantu di rumah, sama Pak Ujang yang antar kita tadi. Dia juga nggak pernah nyakitin siapa pun. Bahkan dia cuma keluar rumah untuk ke minimarket, selebihnya dia di rumah. Mama bilang begini bukan karena mau membela anak Mama. Tapi Mama memang tau, karena tetangga juga banyak yang bilang dia suka menolong anak-anak kecil di sana. Bahkan kucing jalanan juga suka dikasih makan sama dia.”
Wah! Sungguh berbeda jauh dengan penampilannya yang selalu diam menunduk, Chandra ternyata memiliki hati yang mulia. Aku tak sabar ingin bisa lebih mengenalnya. Bagaimanapun, aku akan menghabiskan hidup bersamanya. Aku tak bisa terus menerus memasang jarak tak kasat mata.
“Mama minta tolong sama kamu, Dhira. Tapi sebelumnya Mama minta maaf, Mama nggak ingin kamu merasa terbebani. Mungkin sebenarnya nggak sopan, ya. Baru jadi mantu, Mama udah minta tolong begini,” Tante Rahayu tertawa hambar.
“Nggak apa-apa, Ma. Bilang aja Mama mau minta tolong apa? Mudah-mudahan aku bisa bantu Mama,” sahutku semakin terbiasa dengan sebutan Mama pada mertuaku.
Tante Rahayu menggigit bibir tipisnya sejenak sebelum mulai berbicara. “Ehm, ini mungkin berat buat kamu. Tapi ... Mama mau minta tolong sama kamu, Dhira. Mama mohon banget. Mama minta tolong sama kamu untuk menjaga Chandra, menyayangi dia seperti Mama sayang sama dia.”
Ucapan Tante Rahayu sontak membuat pipiku merona. Rasanya canggung membicarakan perihal ini bersama mertua. Apalagi membahas tentang perasaan kepada anaknya.