Aku terlonjak saat mendengar suara ketukan keras berkali-kali. Tubuhku otomatis terduduk, sementara mataku yang terasa lengket terbuka paksa. Aku menguceknya seraya menyeka liur yang mengalir di sudut bibir. Kesadaranku seolah ditarik dari indahnya mimpi, kembali pada kamar hotel dengan sinar temaram yang sangat nyaman.
Tok … tok … tok!
Lagi-lagi bunyi ketukan mendarat di telingaku, mengingatkan sedang apa dan mengapa aku ada di sini. Ya ampun! Aku seharusnya tidur bersama dengan Chandra! Kulirik sisi kiri dan kanan, tak ada siapa-siapa. Ke mana dia? Ah, tak ada waktu memikirkannya. Aku harus cepat membuka pintu!
Kakiku tersangkut selimut, membuatku terjerembab di lantai. Aku berusaha melepaskan diri dari jeratan kain yang seolah membungkusku erat. Setelah berhasil, buru-buru aku lari ke pintu. Dalam satu hitungan, pintu terbuka dan aku lemas melihat siapa yang berdiri di depannya. Chandra!
“A-anu. Maaf, saya disuruh Mama bangunin. Sudah jam sembilan, sebentar lagi penata riasnya datang,” ucapnya terbata.
“Hah? Jam sembilan?” pekikku histeris sendiri. Otakku seperti jalinan benang kusut, bingung harus memikirkan apa terlebih dahulu. Apalagi ingatan mimpi semalam tiba-tiba menghuni otakku, membuat pipiku terasa panas saat melihat Chandra. Uh, jangan dulu! “Ka-kamu tidur di mana?”
Chandra mengusap tengkuk. “Saya tidur di kamar Mama.”
“Oh, ya ampun! Maaf saya ketiduran!” Rasanya aku ingin menangis. Malu.
“Nggak apa-apa. Semalam saya ketuk pintu, tapi kamu nggak buka. Kata Mama suruh ambil kunci cadangan di resepsionis, tapi saya takut ganggu,” jelasnya panjang lebar untuk ukuran dia yang jarang berbicara. Ini pertama kalinya!
Aku menepuk dahi. Benar-benar merasa sangat bodoh. “Duh, maaf banget. Aku jadi nggak enak,” lirihku menyesali mata yang tidak bisa diajak bekerja sama karena ketiduran.
“Te-tenang aja,” ucapnya kikuk. Semalam saya juga temenin Mama karena katanya dia badannya nggak enak. Agak sedikit demam juga, jadi saya jagain kalau butuh sesuatu.”
“Terus sekarang Tante Rahayu gimana?” pekikku khawatir. Seingatku semalam saat mengobrol dia baik-baik saja. Atau pura-pura baik-baik saja?
“Tadi pagi udah enakan katanya. Udah minum obat yang biasa.”
Perasaanku tak enak. “Apa sebaiknya nggak dibawa berobat dulu?”
“Mama nggak mau. Semalam mau diantar ke IGD atau klinik dua puluh empat jam juga nggak mau.”
“Oh, gitu …,” desahku kehabisan kata-kata. Semoga Tante Rahayu memang benar baik-baik saja.
Tak ada lagi topik yang hendak dibicarakan, lama kami saling terdiam. Keheningan terasa sangat menegangkan.
“Kamu mau mandi duluan?” tanyaku akhirnya tiba-tiba.
“Saya udah mandi di kamar Mama. Tinggal ganti baju,” ucap Chandra. “Kalau boleh masuk, saya mau ambil baju.”