Aku bersandar di sofa putih gading setelah sekian lama bertahan duduk tegak. Tulang punggungku terasa nyaris patah karena begitu pegal. Berada di ruangan asing bersama dengan orang yang tak dikenal amat membuat lelah. Terlebih kekhawatiran yang sejak tadi mengungkung dada turut memberikan andil pada beratnya beban pikiran.
“Kalau capek, istirahat di kamar Chandra aja, Dhira,” saran Bude Rini, istri Pakde Jono, kakak Tante Rahayu. “Biar nanti kalau ada kabar dari rumah sakit Bude kasih tau,” sambungnya.
Tersenyum canggung一yang entah sudah berapa kali kulakukan一aku menggeleng, “Nggak apa-apa, Bude. Aku di sini aja,” tolakku halus.
Sudah lebih dari dua belas jam sejak dibawa ke rumah sakit, belum ada kabar tentang kondisi Tante Rahayu. Chandra, Pakde Jono, dan beberapa kerabat lain yang turut mengantarnya juga belum terlihat batang hidungnya. Aku semakin was-was dan tak tenang. Apalagi tadi juga Mama mengeluh kepala dan tenggorokannya terasa sakit, juga badannya terasa sangat lemas. Aku menyuruhnya untuk pulang dan beristirahat di rumah, daripada harus menunggu kabar di tempat yang bukan kediaman sendiri. Pasti rasanya tidak nyaman dan kikuk, karena harus mengutamakan sopan santun dan rasa “nggak enak”, seperti yang kualami saat ini.
Aku melihat sekeliling. Keluarga Chandra masih banyak yang berkumpul di rumahnya. Bukan hanya orang dewasa, banyak juga anak kecil yang berlarian dan bermain tanpa beban dalam hidupnya. Saudara wanita seumuran Tante Rahayu mengobrol sambil memakan kue, sementara para laki-laki mengobrol sambil merokok dan minum kopi di luar. Karena tak terbiasa bercakap-cakap, aku jadi tidak mudah langsung mengakrabkan diri dengan mereka. Hanya Bude Rini yang tadi bolak balik menyapaku, memastikan aku merasa nyaman walau bukan di rumah sendiri.
Pintu dibuka dengan keras dan Pakde Jono menghambur masuk. Semua yang sedang duduk otomatis menghampirinya. Mereka berebut menanyakan kabar Tante Rahayu. Pakde Jono tampak terdiam sejenak, wajahnya lesu dan muram.
“Rahayu positif korona! Nanti kita semua bakal diperiksa!”
***
Keriuhan tak dapat terelakkan. Suasana yang tadinya santai kini berubah menjadi ketegangan. Semua yang ada tampak berbicara bersamaan.
“Wah, gimana, dong! Masa kita ketularan juga?”
“Saya nggak mau di-swab, ah! Ngeri dicolok hidungnya!”
“Terus Mbak Rahayu sekarang gimana?”
“Nanti kita didatangi petugas lagi, kayak di rumahnya besannya Rahayu?”
Pakde Jono tampak kewalahan. Sepertinya dia sendiri tak punya jawaban. Ia mencoba menenangkan keluarganya yang sekarang tampak seperti berdemo di depannya.
Aku terduduk lemas. Tubuhku gemetar hebat. Mendengar kata positif korona seolah menarikku pada kenyataan. Iya, sekarang pandemi Covid-19 sedang menjajah bumi pertiwi. Namun, aku tak menyangka kalau virus itu akan hadir sedekat ini.
Bayangan Mama yang tadi mengeluh sakit seketika membuatku merinding. Apa jangan-jangan Mama juga tertular? Bagaimana dengan Papa? Juga keluarga dan tamu yang datang di undangan? Untung Kakak masih menemani istrinya yang bersalin di rumah sakit. Aku harus segera memberi mereka kabar. Kalau begitu, keluargaku juga harus diperiksa? Dan aku … pasti aku tertular juga! Ah, kepalaku mau pecah rasanya!
“Saya pokoknya nggak mau diperiksa! Saya mau pulang saja!” bentak seorang laki-laki gendut yang berhadapan dengan Pakde Jono.
“Jangan begitu, Gus! Kita semua harus diperiksa biar tau apa positif atau ndak,” bujuk Pakde Jono.
“Nggak! Saya nggak ketularan! Biar keluarga saya pulang!” balasnya ketus. Dia memandang berkeliling sambil berteriak-teriak, “Sri! Mana Sri! Ayo, pulang! Panggil Bayu!”
Wanita kurus yang berdiri paling belakang tampak terkejut, kemudian mengangguk-angguk. Ia tergopoh-gopoh menggendong salah satu anak laki-laki yang sedang bermain bersama bocah lain. Anak itu menangis dan meronta, membuatnya kewalahan. Ayahnya yang dipanggil Gus itu, menjewernya dengan keras dan mereka pun meninggalkan ruangan.
Sesaat hening. Semua saling bertatapan, memandang dengan penuh rasa curiga. Hingga seorang pria jangkung dengan bibir kehitaman angkat suara, “Saya juga mau pulang aja!”
“Saya juga!” sambut yang lain.
“Iya, ayo, pulang aja! Daripada diperiksa! Nanti kalau positif, bisa dikucilin tetangga!”