Aku tersentak mendengar jawaban ketus Chandra. Mulutku yang baru saja terbuka kembali mengatup, otakku mencerna kata demi kata yang dihujamkannya. Apa telingaku tidak salah dengar? Dia menyalahkanku apa yang menimpa ibunya?
“Maksud kamu apa?” balasku tak dapat lagi mengontrol emosi. Rasanya percuma sejak tadi mengkhawatirkannya. Dia malah menuduh aku dalang dibalik derita yang menimpa.
“Iya! Pernikahan ini jadi sarang penyakit! Mama meninggal karena saya nikah sama kamu!” cecarnya dingin.
Air mataku menetes seketika. Kepalaku menggeleng-geleng tak percaya. “Kenapa kamu nyalahin aku? Aku … kita ... pernikahan ini, bukan aku yang mau juga,” isakku parau. Lidahku terasa kelu mengeluarkan kata-kata. Hatiku yang sudah rapuh seperti lembaran kaca tipis, kini retak seluruh permukaannya.
“Sudah, Chandra! Ini bukan salah Dhira. Kamu tenangin diri dulu!” sergah Pak Jono memasang badan di antara kami. Dia mendorong Chandra menjauh dari hadapanku.
Sesak yang sudah berbulan-bulan terpendam kini meluap. Aku menangis di hadapan semua orang, menutupi wajah dengan tangan. Dadaku terasa remuk seperti batu karang lapuk yang dihantam ombak besar. Sungguh perih, hingga aku untuk berdiri saja aku tak tahan. Lututku melipat dan kutumpahkan beban melalui tangisan sambil terduduk di pelataran.
Betapa Chandra begitu tega menjadikanku kambing hitam atas kematian ibunya! Aku memang bukan siapa-siapa, tetapi apa pantas dia memperlakukanku sedemikian kejinya? Lagi pula, memangnya aku yang memohon untuk bisa menikah dengannya? Bukan! Bukan aku! Melainkan ibunya, dan juga Mama! Kenapa sekarang dia melampiaskan kemarahannya padaku? Memangnya aku salah apa?
Makin lama, napasku makin terasa berat. Tenggorokanku seolah penuh dengan beban yang ingin dikeluarkan, tetapi aku tak sanggup mengatakan apa pun. Hanya air mata dan jerit tangis yang bisa kulepaskan. Entah berapa lama waktu berjalan, aku benar-benar tak mempedulikan.
Sentuhan lembut terasa membelai punggungku seiring bisikan wanita di telinga. “Sabar, ya, Dhira. Tolong maklumi Chandra. Dia lagi berduka.”
Aku mengangkat kepala dari tumpuan tangan. “Tapi kenapa jadi aku yang salah? Aku cuma nurutin Mama, makanya mau nikah sama dia! Kenapa dia malah nyalahin aku?” jeritku tanpa sadar, mengeluarkan sesak yang terpendam.
“Iya, iya. Bude tau kalau kalian dijodohkan,” ucap Bude Rini lembut. “Itu semua memang kemauan Rahayu. Mungkin dia punya firasat kalau umurnya nggak lama lagi, makanya dia buru-buru nikahin anak kesayangannya sama kamu.”
Tercekat, aku teringat kali terakhir aku bercengkrama dengan Tante Rahayu. Ia berkata menitipkan Chandra padaku, membuatku berjanji akan menyayanginya sepenuh hatiku. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan orang yang sudah meninggal. Namun, bagaimana bisa aku mencintai orang yang bahkan menolakku dengan alasan yang tidak masuk akal?
Aku membuang napas kasar, meredakan sisa-sisa tangisan yang masih mendesak untuk keluar. Tak bisa menjawab perkataan Bude Rini, aku hanya terdiam. Dia mengajakku untuk pindah dari tempat sekarang karena saat ini kami menjadi tontonan. Benar saja, dari balik bayangan air mata, kulihat banyak orang yang menatap kami penuh rasa ingin tahu.
Bude Rini dan Yudha membantuku berdiri, memapahku menuju kursi kosong yang tersisa. Aku masih tetap sesenggukan, tak mampu kutahan walau sekuat tenaga aku hentikan. Kuseka air mata dengan punggung tangan hingga lengan bajuku basah seketika.
“Kayaknya Dhira perlu istirahat. Kamu pasti capek banget,” ujar Bude Rini. “Yud, tolong antar Dhira pulang, ya.”
Ingin rasanya aku menolak perintah itu, tetapi kehadiranku di sini juga percuma saja. Biar aku doakan Tante Rahayu dari dalam hati, tak peduli dengan anaknya yang bermulut pedas. Aku memang benar-benar lelah menghadapi hari yang makin runyam saja.
“Iya, benar kata Mama. Yuk, Dhir. Saya antar pulang,” sambut Yudha.
Aku mengangguk pelan. Setelah berpamitan dengan Bude Rini, kami berjalan pelan menuju parkiran dalam diam. Aku bersyukur karena Yudha tak mencecarku dengan berbagai pertanyaan yang menyudutkan.
Sampai di mobil, aku teringat satu hal penting. Apa maksud Bude Rini menyuruhku pulang adalah ke rumah Chandra? Astaga! Bagaimana bisa aku kembali ke rumah orang yang tidak mengharapkanku di sana? Aku tidak mau. Bisa-bisa aku semakin tersiksa.
“Ehm, anu …, Mas Yudha,” bisikku dengan berat membuka suara yang serak.
“Ya?” Yudha terkesiap. Ia yang sedang menyalakan mesin mobil beralih padaku.