Yudha menerima bungkusan yang diberikan oleh pegawai restoran drive thru. Pesanan makanan yang diberikan seolah tak habis-habis sampai Yudha kerepotan menerimanya. Aku membantu memindahkan makanan ke jok belakang.
"Banyak banget pesannya?" gumamku teralih dari masalah yang menghuni otak. Yudha memang tak kira-kira membeli makanan sebanyak ini. Siapa yang akan memakannya?
“Iya. Kamu belum makan, kan? Sekalian pesan buat Mama, Papa, sama Chandra juga. Pasti semua belum makan,” jawab Yudha sambil menyerahkan bungkusan berisi ayam goreng tepung.
Aroma gurih menguar dari kantong kertas itu. Perutku yang memang belum diisi meronta-ronta. Namun, kegamangan yang mendera hati membuatku kehilangan selera untuk menyantap apa pun yang ada di depan mata.
“Saya nggak lapar,” dustaku lirih. Sungguh ironi, baru kali ini aku tak bernafsu makan sama sekali, padahal lambungku sudah terasa perih.
“Tapi kamu tetap harus makan, Dhira,” tandas Yudha seraya menyodorkan satu cup penuh es krim vanila berpadu dengan cokelat. “Ini, dessert biar perasaan kamu lebih tenang.”
Melihat makanan manis kesukaanku di hadapan, hatiku bergulat sedemikian hebat. Di satu sisi, aku sudah menolak tawaran Yudha. Namun di sisi lain, betapa pun hilangnya selera makan, sweet dessert selalu berhasil menggoyahkan iman. Ah, bagaimana dia bisa tahu kalau makanan manis selalu menjadi kelemahanku?
“Anu, saya—” Aku memutar otak untuk mencari alasan.
“Dicoba dulu, Dhira,” Yudha setengah memaksa. “Kamu pernah dengar istilah, ‘without ice cream, there would be darkness and chaos’?”
Aku mengernyitkan dahi tak percaya, “Hah? Istilah dari mana itu?”
“Iya! Itu quote-nya Don Kardong,” ucap Yudha.
“Masa, sih?” sangsiku. Tanpa sadar aku tertawa. “Itu pasti karangan Mas Yudha!”
Sepertinya aku tak pernah dengar istilah itu. Mungkin ini cuma akal-akalan Yudha untuk menghiburku. Dan ia berhasil karena istilahnya yang lucu itu bisa membuatku tak bisa berhenti tergelak. Memang benar, ketika memakan es krim, rasa manisnya yang lumer di mulut pasti membuat bahagia. Namun kalau sampai menimbulkan kegelapan dan kerusuhan, rasanya terlalu berlebihan. Bisa-bisanya dia membuat ungkapan seperti itu.
Yudha tersenyum melihatku. Dia mengutak-atik ponsel, kemudian menjulurkan layarnya padaku. Tampak laman Google menampilkan istilah itu berbaris-baris banyaknya. Astaga! Ternyata memang benar katanya!
Sontak aku terbelalak dan menghentikan tawa. Kupikir Yudha sedang mengerjaiku. Bodohnya aku malah mengira ia bercanda. “Eh, serius ada?” sangkalku menahan malu.
Kali ini Yudha yang tertawa. “Kamu pikir saya yang ngarang, ya? Wah, jago banget saya bisa bikin ungkapan keren begini.”
“Iya juga, ya,” desisku membuang muka sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. Bagaimana bisa aku, yang calon pemilik bakery ini, tidak tahu istilah itu? Huh, rasanya aku malu menobatkan diri sebagai pecinta makanan manis.
“Nggak apa-apa. Sekarang kamu makan es krimnya. Biar dunia nggak chaos,” kelakarnya garing.
Aku mengalah. Kusesap es krim yang seketika berpesta di lidah. Ah, aku pasti akan menyesal kalau sampai menolak mentah-mentah. Secuil kebahagiaan yang bisa kudapat pasti hilang sudah.
“Gimana? Enak, kan?” Yudha seperti menyindirku halus. Aku hanya nyengir sambil mengangguk. “Oke, kalau begitu. Next stop, rumah Chandra!”
Mendengar nama orang yang sudah menjadi suamiku itu membuat perutku mulas. Tubuhku bergidik, seolah nama yang disebut adalah sejenis hantu yang paling menakutkan. Aku meneguk ludah, kemudian mengangguk pelan.
Saatnya kembali pada kenyataan.