Aku membuka mata dan tampak langit-langit putih menyapa. Tanganku yang masih terasa lemas meraba sebelah kiri tempat aku berbaring, terasa luas dan lembut. Aku berguling dan mendapati tubuhku telentang di atas kasur berlapis sprei bermotif bunga. Rasanya sungguh nyaman, membuatku malas untuk bangkit dan bergerak.
Tunggu dulu! Bukannya semalam aku tidur di sofa?
Aku terlonjak, bangun dengan hati meledak untuk kedua kalinya. Kemarin di hotel, aku ketiduran saat malam pertama. Sekarang, terbangun di kamar yang asing di mata. Ya ampun, kenapa aku tidur seperti kerbau, sih? Sampai tak terasa apa pun!
Kugaruk kepala dan mengacak rambut yang memang sudah berantakan, hingga megar tak karuan. Otakku yang baru saja istirahat kupaksa berpacu sekuatnya. Seingatku, semalam aku sedang rebahan di sofa. Kenapa sekarang bangun di tempat tidur? Pasti Yudha yang memindahkanku.
Mengucek mata yang terasa gatal, aku menyingkirkan kotoran berwarna kuning yang menempel. Kandung kemihku terasa penuh setelah semalaman belum dibuang. Belum lagi tenggorokanku yang sakit, mungkin karena semalam minum es sebelum tidur. Aku menguap, hendak beranjak turun. Gerakanku terhenti saat kakiku menyentuh kulit berambut yang menimbulkan rasa geli.
Aku melirik kasur sebelah kanan yang tadi belum masuk dalam pandangan. Jantungku seolah berhenti berdetak saat melihat sebuah kepala menyembul dari balik selimut. Berbaring tengkurap, aku tak dapat melihat wajahnya. Namun dari warna kulit dan rambut serta bentuk tubuhnya, bisa dipastikan dia adalah Chandra.
Melompat turun dari kasur, aku menutup mulut demi menahan pekikan yang hendak keluar. Gila! Bagaimana bisa Chandra tidur di sebelahku? Ya ampun! Kenapa juga aku tidak sadar? Sejak kapan? Bukannya dia marah padaku? Terus, kenapa dia ada di situ?
Kuembuskan napas panjang demi meredakan keterkejutan. Hatiku bergumul dengan peperangan batin yang sungguh sulit untuk diredakan. Meskipun begitu, aku harus tetap tenang dulu. Lagi pula, Chandra memang suamiku. Wajar kalau dia tidur satu kasur denganku.
Tapi ini Chandra, loh! Chandra yang kemarin nyalahin aku pas ibunya meninggal! Masa dia tidur di sebelahku? Apa jangan-jangan dia udah ngapa-ngapain aku? Nggak mungkin, sih! Uh, kepalaku jadi pusing! Nggak tau, ah!
Lelah sendiri dengan pergolakan pikiran, aku buru-buru keluar dari kamar. Tentu saja dengan gerakan sepelan mungkin. Jangan sampai aku membangunkan Chandra, bisa-bisa keadaan malah semakin canggung!
Setelah mengingat denah lokasi kamar mandi yang sudah kupakai kemarin, aku berhasil membuang urin yang sudah mendesak untuk dikeluarkan. Aku mencuci tangan, kemudian wajahku yang tampak kusut dan urakan. Apalagi rambutku yang seperti singa jantan di tengah hutan! Penampilanku benar-benar tak karuan.
Baru pagi hari pertama di rumah Chandra, aku sudah sport jantung begini. Bagaimana kalau setiap hari?
Keluar dari kamar mandi, hidungku menangkap aroma masakan yang menggugah selera. Pasti Bude Rini sudah bangun duluan dan memasak untuk sarapan. Aku harus segera membantunya. Bukan saja demi kesopanan yang ditanamkan keluargaku, tetapi juga karena aku kasihan. Dia pasti lelah karena pulang lebih malam.
Aku terhenyak begitu tiba di dapur. Alih-alih melihat Bude Rini, mataku terbelalak melihat Yudha sudah sibuk dengan wajan dan sutil di tangan. Dengan lihai, ia menuang nasi goreng yang mengepul ke dalam wadah, kemudian mengisi wajan dengan adonan telur yang sudah diaduk. Saat hendak mengambil garam, dia menoleh ke arahku.
“Pagi, Dhira. Kamu udah bangun? Kalau masih ngantuk, tidur lagi aja,” ucapnya dengan senyum secerah mentari pagi.
Mengusap tengkuk, aku merasa kalah telak darinya. Yudha benar-benar rajin dan cekatan. Sedangkan aku, malah bangun kesiangan.
“Nggak, kok,” sahutku menghampirinya. “Ada yang bisa dibantu?”
“Udah selesai, sih. Tinggal dadar telur sama goreng kerupuk,” jawabnya masih sibuk berkutat dengan wajan.