Rasa ingin muntah mendesak keluar saat alat seperti cotton bud panjang menyodok pangkal tenggorokanku. Sungguh tak nyaman, padahal selama ini kupikir dapat menghindari pemeriksaan swab PCR ini. Belum selesai, petugas kesehatan yang memakai hazmat itu melanjutkan dengan swab di kedua pangkal hidungku. Refleks aku terbatuk sampai mengeluarkan air mata, dan tanganku spontan mendorongnya. Astaga! Sakit sekali!
Kini giliran Chandra yang di-swab terakhir. Dia bersembunyi di balik pintu sampai Pakde Jono dan Bude Rini membujuknya agar mau keluar. Tubuhnya terlihat gemetar, wajahnya berubah merah padam. Apalagi saat mulai dilakukan swab, responnya lebih parah daripada aku. Dia meronta-ronta sampai tanpa sadar memukul Yudha yang memeganginya. Dia bergegas kembali ke kamar begitu selesai dan membanting pintunya.
"Ini yang terakhir?" tanya seorang pria berseragam polisi pada Pakde Jono. "Bukannya kemarin habis hajatan banyak keluarga yang kumpul?"
"Mereka sudah pada pulang, Pak," jawab Pakde Jono dengan suara serak.
"Kalau begitu, kami minta data alamat dan kontaknya. Acara pernikahan ini sudah jadi cluster penyebaran covid. Jadi mohon bantuan dari Bapak dan keluarga sekalian untuk mempercepat tracing supaya bisa mencegah virus korona menyebar lebih parah lagi," papar polisi itu tegas.
"Baik, Pak," Pakde Jono mengangguk hormat.
Bude Rini mengajakku masuk ke rumah untuk segera minum, mengurangi rasa sakit dan tak nyaman tenggorokan. Ia menuang dua gelas air panas, untukku dan dia sendiri. Segera kuminum air yang sudah mulai dingin itu. Efeknya lumayan mengurangi rasa nyeri yang membuat tenggorokanku terasa panas.
Beberapa saat kemudian, Pakde Jono datang bersama Yudha. Mereka tampak berdebat serius.
"Ya udahlah, Pa. Mau gimana lagi? Memang semua harus di-tracing, kan?"
"Iya, tapi gimana kalau pada marah sama kita?" debat Pakde Jono balas bertanya.
"Kita, kan, cuma ngejalanin tugas, Pa. Tenang aja."
Pakde Jono mendesah. "Iya … iya. Itu juga bukan salah kita, kan?" gumamnya melirik ke arahku. "Maksudnya yo ndak nyalahin siapa-siapa. Namanya musibah. Mudah-mudahan pas di-swab pada negatif."
Yah, lagi-lagi pernikahanku membuat repot semua orang. Uh, kenapa harus seperti ini, sih? Kalau bisa diulang, lebih baik aku tak menikah daripada menghadapi masalah demi masalah silih berganti. Aku rindu kehidupanku yang datar, perahu di air tenang tanpa ombak yang bergoyang.
Dering telepon di saku Pakde Jono hadir di saat yang tepat untuk memecah kecanggungan. Ia pamit untuk mengangkatnya dan berjalan keluar, sementara Bude Rini menanyakan pada Yudha apa yang sedang terjadi. Ternyata Pakde Jono merasa bersalah karena telah menyebarkan informasi keluarga kepada petugas.
Dalam hati aku berpikir, betapa mirip Pakde Jono dan Yudha. Sama-sama terlalu peka dan mudah merasa bersalah. Padahal dia bisa saja menyalahkanku seperti Chandra kemarin. Walaupun sepenuhnya bukan salahku. Kalau saja aku tega untuk mengungkapkan, yang paling bersalah atas musibah ini adalah Mama dan Tante Rahayu. Kedua orang tua itu yang memaksakan digelarnya acara pernikahan ini secara besar-besaran. Namun, bagaimana bisa aku menudingkan telunjuk pada Mama yang suda melahirkan dan membesarkanku, serta Tante Rahayu yang sudah meninggal?
Aku memijat pelipis pelan, berharap urusan yang runyam ini bisa segera terselesaikan. Kulihat Pakde Jono datang setelah menerima telepon dengan wajah pucat. Astaga! Apa lagi ini?
"Barusan Wahyu ngabarin, kalau Simbah minta kita segera pulang!" terangnya tanpa diminta.
"Kenapa?" Bude Rini menanggapi sambil mengernyitkan dahi.
Pakde Jono mengangkat bahu. "Kayaknya kondisi Simbah udah makin buruk. Dia juga tanyain Rahayu terus. Ndak ada yang berani bilang kalau Rahayu sudah meninggal."