Aku menatap nanar pada layar televisi yang menyala, tak bermaksud menonton acaranya. Di depanku, remote televisi tergeletak sendiri tanpa benda apa pun di sampingnya. Aku sama sekali tak bernafsu untuk memegangnya, selain tadi kugunakan untuk menekan tombol power agar televisi menyala. Paling tidak, ada suara lain yang menemani agar aku tak merasa benar-benar sendirian.
Pikiranku terus berkecamuk, menuntut kejelasan dari sikap abstrak Chandra. Bayangkan saja! Apa maksudnya dia mengunci pintu di depanku setelah keluarga Pakde Jono pergi? Setelahnya, jangankan menyapaku. Dia malah langsung melesat ke kamarnya di lantai dua! Sumpah! Dia benar-benar membuatku sakit kepala.
Memijat pelipis pelan, aku membuka notifikasi di ponsel. Pesan dari Thea di grup membuatku terlonjak.
[Dhir! Coba lihat CXN! Ada rumah lo masuk tipi!]
Tanganku otomatis mengganti channel televisi seperti yang disebut Thea. Napasku tertahan melihat rumahku dipalang garis polisi. Dari kejauhan, tampak kaca jendela pecah berhamburan. Astaga! Apa yang terjadi?
Segera kutelepon Mama, tetapi tak ada jawaban. Aku beralih pada nomor Aa dan pria itu mengangkatnya setelah aku menunggu beberapa saat.
"A! Aa di mana?" pekikku keras.
"Lagi di jalan. Kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan?" Dia balik bertanya.
"A! Rumah kita dirusak orang!" jeritku histeris.
"Iya. Tadi Aa ditelepon Pak RT, ini lagi di jalan mau ke sana."
"Aa jangan ke sana dulu. Apalagi bawa bayi. Bahaya!"
"Nggak. Kak Dina sama baby besok pagi baru pulang. Tapi nggak ke rumah, nanti ke rumah orang tuanya Kak Dina," jelas Aa.
"Mama sama Papa gimana? Dhira nggak bisa telepon?"
"Mama sama Papa nggak tau. Biarin aja. Nanti malah tambah panik. Imunnya bisa drop. Kamu tau sendiri, kan? Mama selalu panik berlebihan. Jangan kasih tau Mama, ya. Pura-pura semua baik-baik aja."
Aku mendesah. "Ya udah, Dhira ikutin apa kata Aa aja."
"Iya. Kamu jangan ikut ke sini, ya. Biar Aa yang urus semuanya. Kamu hati-hati di sana. Udah dulu, ya. Aa lagi nyetir. Assalamualaikum."
Belum juga genap dua puluh empat jam, tangisku kembali pecah sehancur-hancurnya. Kenapa semua ujian datang bertubi-tubi seperti ini? Terjangan badai sepertinya belum cukup memporak-porandakan ketenangan keluarga kami. Harus bagaimana lagi?