Melepaskan diri dari cengkeraman, aku menghempaskan badan. Aku berbalik agar bisa menghadapinya, membuatku menabrak meja hingga layar bergoyang. Keringat dingin mengucur deras seiring perutku yang terasa mulas. Belum pernah aku terpergok seperti maling yang hendak mencuri. Kalau tahu mengerikan begini, pasti pencuri kelas teri akan berpikir untuk melakukan kejahatan beribu kali.
“Ma–maaf!” cicitku terbata. Sumpah! Sekarang aku memang benar-benar seperti kucing yang kepergok mengambil ikan di atas meja makan. “Ta–tadi pintunya nggak dikunci. Saya cuma mau bawain makanan.”
“Emang siapa yang minta dibawain makanan?” tanyanya ketus.
Ya … memang tak ada, sih. Ini murni niat baikku karena kasihan padanya. Namun, apa balasan yang kuterima? Bentakan dan intimidasi. Miris!
“Bu–bukan gitu. Saya tadi sekalian bikin makanan. Saya pikir kamu pasti lapar karena tadi pagi cuma makan sedikit,” kilahku memutar otak mencari alasan.
“Nggak perlu!” debatnya. “Lagian ini kamar saya! Siapa yang bolehin kamu masuk?”
Tapi … kita, kan, suami istri! Uh, aku kesal bukan main. Tapi aku terlalu takut kalau harus melawan di area kekuasaannya.
“Iya, maaf,” bisikku lirih menahan tangis. “Saya … saya cuma mau sedikit beresin kamar ini sama buang sampah yang berserakan. Saya nggak ambil apa-apa.”
“Itu urusan saya! Mau kotor atau bersih, bukan urusan kamu!” bentaknya. “Saya nggak butuh bantuan kamu!”
Air mataku kembali menetes. Sepertinya hati Chandra benar-benar terbuat dari batu. Bahkan kebaikan yang aku tujukan untuknya hanya menjadi alasan untuk memarahiku.
“Maaf,” desisku menyeka air mata. “Saya nggak akan masuk ke sini lagi tanpa permisi.”
“Jangan pernah naik ke lantai dua!” tambahnya. “Silakan kamu bebas pakai lantai satu sepuasnya. Sekarang, tolong keluar dari kamar saya!” Lanjutnya mengusirku terang-terangan.
Aku menunduk dan berjalan melewatinya keluar kamar. Sekilas aku melirik layar komputer tempat media sosialku terpampang. Dia langsung menutupinya dengan tubuh, matanya yang merah melotot padaku. Inginku konfrontasi dia yang jelas-jelas sudah memata-mataiku, tetapi melihat situasinya saat ini, kuyakin masalah akan makin bertambah runyam.
Baru saja kedua kakiku melangkah keluar, pintu di belakangku dibanting sekeras-kerasnya.
***
Bosan!
Aku tak tahu lagi bagaimana cara menghabiskan waktu sendirian. Chat teman-temanku juga sudah tidak dibalas karena mereka sibuk dengan pekerjaan. Padahal, pasti asyik kalau jalan-jalan keluar bersama mereka. Menonton televisi, tak ada film yang bisa dinikmati. Membaca webtoon, sudah semua. Tidur, sudah lebih dari dua jam. Sekarang saja aku baru terbangun setelah tadi mengantuk pasca satu jam memeras air mata. Menelepon Mama dan Papa, sudah setengah jam sampai pulsaku habis. Menghubungi Kakak, tidak dijawab. Video call dengan kakak iparku dan bayinya, sudah cukup lama sampai bayinya menangis karena pup. Mandi, entah sudah berapa jam sampai ujung jariku keriput semua. Menyapu rumah, sudah selesai sedari tadi. Khusus lantai satu tentunya. Aku tak peduli lagi dengan sarang macan di lantai dua.