Kuketuk pintu perlahan, sambil menyeimbangkan nampan berisi semangkuk bubur juga segelas air hangat serta teh di tangan. Tak ada jawaban. Aku takut kejadian kemarin terulang lagi kalau aku seenaknya masuk ke ruangan. Meneguhkan hati, aku terus mengetuk pintu tanpa henti.
Lelah karena terlalu lama berdiri, aku duduk di depan pintu sambil terus mengetuknya. Biarlah berapa lama Chandra membukanya. Yang penting aku sudah makan, jadi aku bisa menunggu di sini sampai kapan pun. Tekadku sudah bulat. Demi memenuhi janji pada almarhumah Tante Rahayu, aku akan berusaha menjaganya sebisaku, walaupun mungkin nanti harus berhadapan dengan kemarahan anaknya.
Tubuhku terhuyung ke belakang saat pintu seketika terbuka. Aku yang sedang melamun otomatis terkejut, dengan cepat berdiri gelagapan. Untung air dan bubur di nampan tak tumpah. Di depanku, penampilan Chandra makin memprihatinkan. Wajahnya pucat dan merah, terlebih matanya. Meskipun aku juga sedang tidak dalam kondisi prima, paling tidak aku masih kuat untuk beraktivitas jika terpaksa.
“Ngapain duduk di depan pintu?” tanyanya ketus.
“Saya cuma mau nganterin bubur sama teh manis hangat,” tukasku. “Kamu lagi sakit, harus makan!”
“Nggak usah!” Dia masih bersikeras. Tangannya mendorong pintu hingga nyaris menutup, tetapi buru-buru kutahan dengan kaki hingga terjepit. Aku menjerit kesakitan, hingga dia membuka lagi pintu dengan kesal. “Mau kamu apa, sih?”
“Saya mau kamu makan!” jeritku tersulut. Aku capek bersikap manis di depannya. Benar saja, teriakanku membuatnya tersentak. “Kamu pikir saya bisa diam aja ngeliat ada orang sakit di depan mata? Nggak makan, nggak minum, cuma tidur aja. Emang saya bukan manusia yang punya hati nurani?”
Chandra memberengut. “Biar aja saya mati! Biar saya nyusul Mama!”
“Chandra!” bentakku benar-benar tak mampu membendung emosi. “Saya udah janji sama Tante Rahayu buat jagain kamu! Tapi kamu malah seenaknya bilang begitu!”
“Terus kenapa? Mama udah nggak ada. Buat apa juga saya ada di dunia?”
“Kamu pikir saya apa? Saya ini istri kamu! Kamu udah ngucap janji di depan penghulu! Kita bakal hadapin masalah sama-sama! Bukan saling menghindar begini!” Aku makin naik pitam. “Udah, deh. Saya capek kalau harus begini terus. Kalau kamu emang segitu bencinya sama saya, saya terima. Tapi tolong, jangan bikin saya ingkar janji sama Tante Rahayu.”
Cowok di depanku menunduk dalam. Ia mundur beberapa langkah, membuka pintu lebar-lebar. Sesaat kemudian ia membanting diri di kasur, memeluk guling dan memunggungiku.
Aku membuang napas kasar. Rasanya lega sudah mengeluarkan unek-unek seperti tadi. Namun, apa aku tidak terlalu keras? Usia Chandra lebih tua tiga tahun dariku, tetapi malah aku yang mengomelinya seperti anak kecil. Yah, salah siapa? Dia sendiri yang bertingkah kekanak-kanakkan. Uh, tapi perasaanku juga jadi tidak enak. Sebelumnya, aku jarang sekali marah-marah pada siapa pun.
Meletakkan bubur di meja sebelah tempat tidur, aku menjaga nada suara agar terdengar galak seperti sebelumnya. “Ini dimakan, ya. Apa mau disuapin?”
“Nggak.”
“Ya udah. Nanti saya balik ke sini harus udah dimakan!”
Tak ada jawaban. Sepertinya Chandra benar-benar marah padaku. Biarlah, sudah kepalang tanggung. Kalau sampai aku menciut lagi, dia akan semakin bertindak semaunya. Kalau sakitnya bertambah parah, bisa-bisa aku yang disalahkan keluarganya.
Aku keluar dari kamarnya dan menutup pintu, kemudian mengatur napas yang memburu. Tubuhku gemetar, mengeluarkan ketakutan yang tadi kusembunyikan. Gila! Aku baru saja memarahi Chandra! Uh, bagaimana nasibku selanjutnya? Apa aku akan diusir dari rumah ini? Terus aku mau tinggal di mana? Mana lagi positif Covid begini! Kacau!
Sudahlah. Aku sudah terlanjur bertindak. Sekarang aku harus mencari obat. Paling tidak, Chandra harus minum parasetamol agar demamnya turun. Namun dari tadi, aku tak menemukan di mana letak kotak obat. Daripada bubur keburu dingin, jadinya aku cepat-cepat ke sini dulu dan tak membawa obat. Mungkin aku bisa bertanya pada Yudha, alih-alih Chandra yang pasti sedang mendongkol karena baru kumarahi.
***